ANAK KANGURU NAIK KE KANTUNG INDUKNYA UNTUK ISTIRAHAT DAN MAKAN ("AKU TAHU!" : Asal Tahu Saja, Suranto Adi Wirawan, 2010)

Jumat, 18 Desember 2009

“MAKLUMAT PERJUANGAN FORGUSTA KAB. TEGAL”

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Saudara-saudara senasib dan sependeritaan, sesama anak bangsa yang “ditakdirkan” menjadi guru swasta, yang perjuangan luhurnya hanya dipandang sebelah mata oleh Negara, marilah kita kembali merapatkan barisan, dan bulatkan tekad untuk terus menggugat perilaku diskriminatif Negara terhadap eksistensi kita.
Tahun 2005 kita didholimi dengan munculnya PP 48 yang kemudian revisi PP 43 tahun 2007 justru memperparah penderitaan guru-guru swasta sekolah swasta.
Belum sembuh luka menganga karena PP tersebut guru-guru swasta sekolah swasta akan ditikam lagi oleh pemerintah yaitu rencana pemerintah mensyahkan RPP tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS pada tahun 2010.

Inilah Bentuk Pembantaian Sistematis Pemerintah Kepada Guru-Guru Swasta Sekolah Swasta. Mereka menutup mata dan telinga, justru lahirnya PP tersebut telah memunculkan kasta-kasta pada profesi guru yang notabene ambil peran besar dalam mendesain carut-marutnya pendidikan di negeri ini. Lantas mau didesain bagaimana potret pendidikan dan masa depan anak bangsa ini ?

Mari kita renungkan, Pemerintah Kabupaten Tegal selaku kepanjangan sistem dan representasi peran Negara di daerah, juga dengan congkaknya mempertontonkan sikap diskriminatif itu. Lalu apa gunanya UU Sisdiknas, juga UU Guru dan Dosen dilahirkan jika watak diskriminatif itu tetap dipelihara, dan yang mesti dikorbankan adalah guru swasta ? Apakah memang guru swasta diharamkan untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak ?

Karena itu saudara-saudara, kita pun patut mempertanyakan kebijakan PEMKAB Tegal yang berencana mengurangi tunjangan guru-guru swasta pada TA. 2010 dengan alasan RAPBD 2010 tidak memungkinkan memberi kesejahteraan yang layak bagi guru-guru swasta, ironisnya pada TA. 2009 panitia anggaran DPRD Kab. Tegal merekomendasi kenaikan tunjangan guru swasta pada anggaran perubahan TA. 2009.

REALISASINYA, JANGANKAN NAIK, MALAH TURUN DRASTIS. NAUDZUBILLAHI MINDZALIK.

Sementara kalau kita cermati RAPBD TA. 2010 banyak yang tidak ada signifikansinya bagi kesejahteraan rakyat banyak. Belum lagi menggelembungnya biaya operasional setiap kegiatan ataupun proyek-proyek yang akan dikerjakan masing-masing instansi. Sungguh sebuah konspirasi jahat yang sangat menyakiti hati rakyat, jika itu berjalan sesuai rencana mereka bukankah mereka telah berjanji untuk membela kepentingan rakyat saat kampanye dulu ? Ingat janji adalah hutang, dan hutang harus dibayar.

Karenanya, kita yang tergabung dalam Forum Guru Sekolah Swasta (FORGUSTA) Kab. Tegal akan terus menyerukan perjuangan menuntut keadilan dan menolak segala bentuk diskriminasi terhadap guru swasta.

Kami yakin, saudara-saudara para wakil rakyat dan segenap pimpinan daerah ini masih memiliki iman dan komitmen, masih sadar bahwa setiap bentuk kezaliman akan membuahkan azab yang teramat pedih. Kini, bertanyalah dengan jujur pada diri sendiri, apakah ketika menyusun dan membahas APBD 2010 ini terbersit niat atau bahkan telah merencanakan praktik korupsi ?

Jika jawabannya Ya, maka Fantadziirus Saa’ah, Tunggulah saatnya! Tangan-tangan rakyat ini akan terkepal untuk mengganyang kezaliman itu!

Demikian, semoga Allah Yang Maha Perkasa berkenan meluruskan hidup kita. Amin.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Slawi, 16 Desember 2009
(dikutip sesuai dengan naskah aslinya) lintasberita

Jumat, 11 Desember 2009

MENANTI MASYARAKAT PEMBELAJAR

Gonjang-ganjing keputusan Mahkamah Agung yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional tak dapat dilepaskan dari kondisi nyata sosial masyarakat yang ada. Keadaan yang membuat orangtua murid selalu menuntut agar anaknya naik kelas, lulus ujian, bagaimanapun mutu intelektualitas anaknya tersebut. Hal ini menjadikan masyarakat, dalam hal ini orangtua peserta didik, menjadi faktor yang paling sukar ditakar kompetensinya akan mutu pendidikan.

Jika pemerintah dan masyarakat dihadapkan vis a vis, maka program pemerintah relative lebih mudah dikoreksi, ketimbang perilaku masyarakat. Tak mungkin suatu program pendidikan dirancang agar peserta didik tawuran, nyontek pada saat ujian, bergaul bebas dengan lawan jenisnya, dan pada gilirannya, supaya tidak lulus sekolah, dll.

Kalaulah terjadi hal-hal negatif seperti tersebut di atas, ini mengindikasikan terjadinya missing link, keterputusan fungsi di antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan.

Setidaknya, ada empat pihak yang berkepentingan dalam bidang pendidikan. Pertama, pemerintah, sudah menjalankan fungsinya melaksanakan UU Sisdiknas sebagai amanat pasal 31 UUD 1945, mendirikan sekolah-sekolah di pelosok nusantara, dan menggelontorkan dana hingga 20% dari APBN untuk bidang pendidikan. Jika ada satu dua kebijakan yang tidak berhasil tentu bukan itu sasarannya.

Kedua, guru (dan kepala sekolah) sebagai pendidik, mengikuti berbagai macam seminar, pelatihan, workshop demi peningkatan kinerjanya di sekolah. Berbagai pelatihan itu kemudian sedikit banyak diterapkan dalam pembelajaran di kelas-kelas. Minimal ataupun maksimal hasilnya, toh para pendidik telah menjalankan tugasnya. Bila ada satu dua pendidik yang mangkir, mengajar asal-asalan, memukul siswa, ini pasti tak dapat digeneralisir.

Ketiga, peserta didik, telah mengonsumsi proses pembelajaran secara teratur. Perlengkapannya pun tentu sudah disediakan orangtuanya masing-masing. Beberapa di antara mereka mencapai prestasi bagus, namun lebih banyak lagi yang tidak. Yang jelas, mereka sudah rutin berangkat ke sekolah. Kalau ada satu dua peserta didik yang membolos, sering tawuran, atau peralatan sekolahnya kurang, pasti ini bukan gambaran umum peserta didik negeri ini.

Pihak keempat, masyarakat pada umumnya (dan wali murid pada khususnya), sebagai stake holders pendidikan, adalah pihak yang paling sulit diukur komitmennya sehingga tak mudah pula mengorganisir partisipasinya. Sebagian (kecil) masyarakat kita peduli akan pendidikan anak-anak mereka, sebagian (besar) lainnya tak mau tahu.

Kebanyakan wali murid memandang sekolah sebagai institusi sempurna yang tak boleh cacat sedikit pun. Baik-buruk pendidikan ditentukan oleh lembaga penyelenggaranya, sedang komitmen masyarakat terhadap bidang ini, tak pernah diintrospeksi. Mereka pikir dengan membelikan perlengkapan sekolah, tugas mereka berakhir, dan tugas guru bermula. Orangtua bertugas mencari nafkah untuk membiayai pendidikan anaknya, anak belajar di sekolah, dan guru mengajar dengan sebaik-baiknya. Sesederhana itu. Belum ada kesadaran akan pentingnya long life education sebagaimana dicanangkan PBB. Masyarakat belum terbiasa untuk berpikir ilmiah dan bertindak logis. Dalam masyarakat seperti ini, guru acapkali bertugas sebagai pengajar sekaligus sebagai baby sitter.

Padahal jika semua unsur tersebut berfungsi optimal, maka tak perlu ada keluhan mengenai kesenjangan kualitas pendidikan di desa dengan kota, hingga pada gilirannya, pula tak ada keluhan mengenai ujian nasional. Bibit seunggul apa pun kecil kemungkinannya tumbuh subur di ladang tandus. lintasberita

Senin, 24 Agustus 2009

HATI-HATI ...

Aneh bin ajaib. Mereka yang di satu pihak mengecam habis radikalisme teroris, ternyata di pihak lain diam saja melihat kejumudan yang melanda bagian lain dari umat ini berabad-abad lamanya. Sebuah artikel KOMPAS edisi Minggu, 16 Agustus 2009 berjudul 'Secangkir Air dari Kalijaga', menyebutkan, "Langsung berhubungan kepada Allah itu tidak sopan. Melalui guru dulu, lalu wali. Ini birokrasi spiritual, terlepas dari terminologi musyrik atau tidak," ujar Dr. Purwadi (seorang dosen Bahasa dan Budaya Jawa Univ. Negeri Yogyakarta yang juga menjadi salah satu kontributor untuk buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Penerbit Buku Kompas, 2006).
Artikel itu diakhiri dengan komentar, 'Dengan minum air gentong atau membaca kidung (Sunan Kalijaga, pen.), apa jodoh bisa enteng dan rejeki lancar ?' Kalo benar bisa, mengapa masih ada orang miskin, bahkan bertambah banyak dan mengapa biro jodoh pun masih laris?
Halaman lain koran edisi yang sama mengungkapkan kegelisahan Taufik Abdullah, sejarawan terkenal kita, "Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang berdasarkan pengetahuan, bukan takhayul" (KOMPAS edisi Minggu, 16 Agustus 2009).
Biar obyektif, sambil mewaspadai gerak kelompok teroris yang dituding sebagai bagian umat Islam radikal, kita juga harus menolak kejumudan yang menimpa bagian terbesar dari umat ini, yang antara lain terwujud dalam penghormatan berlebihan kepada kyai, taklid, takhayul, yang ini semua mengembalikan bangsa ini kepada jaman baheula, yang bahkan lebih buruk dari masa kolonialisasi oleh para penjajah dulu.
Wallahu a'lam.
lintasberita

Selasa, 21 Juli 2009

Orang yang membunuh manusia lain yang sedang makan, bersantai, menikmati hidup, adalah pengecut. BUKAN PAHLAWAN.

Tapi ingat, kita hidup di jaman saat mana orang yang paling jahat pun, dengan manipulasi sedemikian rupa, dapat menikmati predikat pahlawan, bahkan mengenyam segala macam penghormatan.

Kita melewati fase jaman penuh rekayasa, sehingga yang jelek dianggap baik, yang baik dijelek-jelekkan, sunnah yang baik diasingkan, dan bid’ah yang buruk pun disepakati secara politis, ada yang baik.

Pada masa bias ini, di mana engkau berdiri ?

Sendiri di jalan lurus yang penuh duri dan aral melintang, atau beramai-ramai di jalan menyimpang yang dihiasi wewangian duniawi ?

APA YANG KAU PUTUSKAN UNTUK HIDUPMU ?

Menjadi pencari kebenaran, atau pengikut kebatilan ?

Apa jadinya kita bila Ibrahim a.s. hanya ikut-ikutan orangtua, saudara, nenek moyangnya?

Bagaimana nasib kita hari ini dan kelak jika Muhammad al-Amin dulu ikut-ikutan saja akidah orangtua, saudara, nenek moyangnya ?

Jangan-jangan …, engkau hanyalah sejenis mayat hidup yang menyerah pada common sense, anggapan umum, yang bahkan tak sanggup membuat keputusan bermakna untuk menentukan arah hidupmu sendiri ! lintasberita

Minggu, 31 Mei 2009

HABIS MANOHARA, TERBITLAH DERITA

SETELAH KITA MEMELOTOTI TAYANGAN SELEBRITIS YANG SAKIT PILEK, SELINGKUH, MENANGIS, ATAU SEKEDAR GANTI GAYA RAMBUT, KINI KITA MENYAKSIKAN BABAK BERIKUTNYA DARI KISAH LADY DI INDONESIA, CINDERELLA KITA, YANG SEBENTAR LAGI AKAN BERTAMBAH POPULER DAN MEMBINTANGI FILM BERJUDUL "KISAH HIDUPKU DI KAKI ISTANA SELANGOR".
CAPEK DEEEHH ... !
lintasberita

Kamis, 23 April 2009

LAWANNN !

Sebagian besar hak rakyat jelata dirampas oleh para tokoh. Tokoh-tokoh ini bisa berupa elit politik, selebritas, "pemuka" agama, bintang sinetron, dll ... Sehingga, misalnya, taraf hidup guru yang sudah puluhan tahun mengajar tak sebanding dengan, misalnya lagi, kehidupan Debo, anak kemarin sore yang beruntung menjadi juara sebuah kontes nyanyi di sebuah televisi swasta.
EDANNN ... !
lintasberita

Senin, 09 Februari 2009

DINASTI SELEBRITI,

DINASTI ATLIT,

DINASTI POLITIKUS,

DINASTI PENGUSAHA,

DINASTI PEGAWAI NEGERI,

DINASTI KULI,

DINASTI RAMPOK,

DINASTI KORUPTOR ...

lintasberita

Kamis, 08 Januari 2009

MENJADI ORANG SWASTA

Agaknya benarlah tengara M.A.W. Brouwer berpuluh tahun yang lalu bahwa Indonesia adalah negeri pegawai. Paling tidak, ini tampak dari membludaknya jumlah pelamar setiap kali ada penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Indonesia.

Di kota Tegal saja, misalnya, menurut harian ini Sabtu, 8 Nopember 2008, Badan Kepegawaian Daerah setempat menerima 1468 berkas lamaran CPNS untuk sejumlah formasi yang hanya puluhan saja.

Berbagai alasan dilontarkan sebagai faktor pendorong diminatinya rekrutmen ini; mulai dari trend gaji pegawai negeri yang naik terus (untuk guru negeri saja, misalnya, mulai tahun anggaran 2009 gaji paling rendah adalah 2 juta rupiah), adanya berbagai tunjangan, jaminan hari tua, dll.

Alhasil dengan kondisi lapangan yang seperti ini, status mereka di masyarakat menduduki posisi terhormat. Kalaupun ada pegawai negeri yang berlaku amoral, paling hanya dikenai sanksi administratif saja, atau dimutasi dari jabatannya semula. Gaji, berbagai tunjangan, dan jaminan masih tetap mereka terima. Hmm … tawaran menggiurkan bagi orang-orang yang tak mau berisiko, harapan besar untuk mereka yang ingin hidupnya tentram dan damai. Pilihan realistis di negara-negara yang sudah makmur.

Adapun bagi negeri-negeri di masa yang tengah dibelit krisis keuangan global seperti saat ini, menjadi orang swasta lebih realistis, dan akan menginspirasi banyak orang lain untuk menggerakkan roda perekonomian.


Dunia Swasta

Tentu saja, konstatasi perekonomian suatu bangsa lebih dijalankan oleh ke-(wira)-swastaan daripada oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya cukup dipandang sebagai regulator / fasilitator saja, sedang yang berperan penting dalam hal ini adalah pelaku dunia ekonomi.

Di lapangan, perusahaan kecil yang beromset ratusan ribu rupiah lebih berperan menghidupi orang banyak daripada gaji seorang pegawai negeri yang jutaan rupiah.

Omset pengusaha ratusan ribu ini “diputar” lagi untuk modal produksi berikutnya, selain tentu saja, untuk konsumsinya sendiri. Sedang gaji pegawai negeri jutaan hanya cukup (bahkan seringkali tidak cukup) untuk kegiatan konsumsi saja.

Jelas saja, pengusaha kecil ini lebih berjasa untuk dirinya sendiri (dan karyawannya), daripada pegawai negeri yang berkonsumsi hanya untuk keluarganya saja.

Dalam skala yang lebih besar, pengusaha multi nasional merekrut lebih banyak tenaga kerja dengan upah yang setara dengan kualitas kerjanya, sedang korps pegawai negeri hanya segelintir kecil dengan penghasilan tetap untuk kualitas kerja yang tidak menentu. Bila jumlah pelayan masyarakat ini pun ditambah, ini berarti menambah beban anggaran negara untuk sektor belanja gaji mereka.

Jika potensi korupsi sama-sama besar, maka yang terjadi dunia swasta hanya akan berakibat pada pihak-pihak yang terlibat dengan pelaku, sedang korupsi di pemerintahan, dampak buruknya akan ditanggung oleh seluruh rakyat, bahkan bayi yang baru lahir.

Menurut sebuah survei, jumlah pegawai pemerintah pada negara-negara yang sudah maju hanya sekitar 2% saja dari keseluruhan jumlah penduduk. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa sedikitnya pegawai negeri (dan banyaknya pelaku ekonomi swasta) berkorelasi nyata dengan pertumbuhan perekonomian yang signifikan. Sayangnya tidak ada contoh negara dengan jumlah pegawai pemerintahan yang prosentasenya besar. Namun sangat mudah diprediksi bahwa ketergantungan korps pegawai negeri terhadap pemerintah yang berkuasa adalah suatu kondisi yang mengkhawatirkan, terlebih lagi situasi dunia yang semakin rentan konflik (ingatlah ketika Perdana Menteri Ismail Haneya di Palestina tak mampu menggaji jajaran pemerintahannya karena tak mendapat dukungan dari Barat)

Dari segi ketahanannya pun, orang-orang swasta lebih teruji dari para amtenar ini. Konon sewaktu krisis moneter satu dekade yang lalu terjadi, sektor riil, pemilik usaha kecil-kecilan, mampu bertahan, sedang perusahaan-perusahaan dengan omset besar dan korps pegawai negeri hanya ikut membengkakkan jumlah utang luar negeri yang mencapai ratusan trilyun rupiah.

Dengan demikian, menjadi orang swasta, selain tidak ikut menambah beban anggaran negara, juga menginspirasi orang untuk hidup mandiri, suatu elan vital yang saat ini memang sudah kian tergerus common sense sempit.



* Guru MI NU 01 Sutapranan Kec. Dukuhturi Kab Tegal, anggota Forum Guru Sekolah Swasta Kabupaten Tegal, & tidak pernah mengikuti rekrutmen CPNS

lintasberita