Dalam kesehariannya, bangsa Jawa tampil minder, serba tanggung, dan inferior. Anak-anak sekolah di Jawa paling senang mengisi deretan kursi paling belakang, sebagaimana kumpulan orang di rumah-rumah ibadah yang selalu mengisi barisan belakang lebih dulu. Di berbagai fasilitas umum orang cenderung mengambil posisi yang dirasa aman, di pinggir atau belakang , bukan di depan. Di angkutan umum bis, kereta atau pesawat, kita lebih suka mengambil tempat di pinggir jendela, bukan di sisi yang dekat dengan gang dalam bis atau kereta.
Di sekolah, guru-guru kita mengajar (hanya) berdasar teks kurikulum yang telah digariskan, sehingga acapkali hanya memindahkan materi dari buku paket saja. Guru kreatif seperti Ibu Guru Sonya (dalam sinetron “Opera SMU” di sebuah televisi swasta beberapa tahun yang lalu), atau seperti dalam novel “TOTO-CHAN” karya Tetsuro Kuroyanagi, atau seperti Prof. Johannes Surya yang sukses melahirkan juara-juara olimpiade sains tingkat dunia, hanya cerita indah penghias acara-acara talkshow saja. Institusi pendidikan hanya dipandang sebagai salah satu periode dalam hidup, yang akan segera berakhir saat periode berikutnya tiba, yaitu menikah.
Pada fase menikah, pembentukan keluarga atau rumah tangga baru, kita seringkali hanya mengikuti petuah orangtua atau common sense : sudah waktunya, kepengin, atau bahkan ‘kecelakaan’. Ini berarti kaitannya dengan masa lalu, sekadar menjalankan kebiasaan yang sudah berlangsung.
Akibat dari kebiasaan ini adalah anak-anak kita lahir tana rencana, tanpa tujuan. Lembaga perkawinan menjadi semacam industri rumahan yang memproduksi anak-anak yang akan segera menikah dan beranak lagi. ‘Ritual’ jalan hidup kita sudah dapat diperkirakan sejak kita lahir.
Kebiasaan ini mengakibatkan bapak-ibu kita sering mengingatkan anak-anaknya “aja macem-macem, aja polah, aja gawe masalah”, supaya jalan hidup kita tidak melenceng dari perkiraan tadi. Pada gilirannya, kreativitas anak-anak pun layu sebelum berkembang. Kreativitas dalam kadar tertentu sering dicap negatif, orangnya dituding mbalelo.
Di rumah-rumah ibadah, para tokoh agama hanya membaca teks yang sudah disusun sebelumnya. Intonasinya, tanpa daya tarik sama sekali. Ceramah paling memikat sekalipun, cukup menjadi retorika saja. Tidak berpengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat banyak.
Gumam kekecewaan sering terdengar akibat pelayanan yang buruk dari kebanyakan fasilitas sosial dan fasilitas umum, instansi pemerintah dan swasta. Penyelesaian masalah pun menjadi tidak jelas karena pihak yang dirugikan tak dapat membahasakan masalahnya, karena pada fase pendidikan, ketrampilan berbicara telah dilumpuhkan. Sebaliknya pihak instansi yang digugat pun tak dapat menjelaskan persoalan karena pegawai-pegawai terbiasa hanya untuk menuntut, bukan melayani.
Di Tanah Jawa arus komunikasi macet atau satu arah saja, tanpa timbal balik yang signifikan. Tidak ada pengelolaan organisasi yang standar, meliputi segenap komponen dan seluruh kepentingan. Celakanya, pemerintah di tingkat nasional mengadopsi tradisi tokoh-tokoh politik yang sebagian besar memang dari Jawa.
Fungsi supervisi yang seharusnya dilaksanakan pemerintah, tidak berjalan karena orang-orang pemerintahan mayoritas orang-orang Jawa yang di muka disebutkan tidak mempunyai visi dan misi. Kalaupun ada misi, paling-paling dalam rangka memperkaya diri sendiri.
Secara umum kehidupan “berbangsa dan bernegara”, mengecewakan karena rakyat banyak dibiarkan menjalani hidup seadanya. Mencari penghidupan sendiri, mengurusi masalahnya sendiri, dan pada akhirnya, menelan kepahitannya sendiri.