Adalah suatu kenyataan yang sangat memprihatinkan jika negeri yang sedang dirundung malang ini kekurangan guru. Jika Indonesia diibaratkan sebagai gadis cantik yang terpuruk akibat berbagai diskriminasi, perampasan hak, dsb, maka guru harus berdiri sebagai “pangeran” yang bersiap menyunting dan mengembalikan pesona sang gadis cantik.
Masyarakat pun harus mengayubagya guru yang seperti ini dengan memberikan dukungan yang sportif dan obyektif (sesuai dengan tujuan pendidikan nasional), bukan hanya dicocokkan dengan selera primitif wali murid. Seorang murid (tingkat) sekolah dasar yang tak mampu baca-tulis, misalnya, tak layak untuk naik kelas apalagi lulus dalam ujian akhir. Hal ini harus disadari oleh orangtuanya. Jika dukungan sportif ini telah diberikan, selebihnya, percayakan saja kepada guru apa yang terbaik untuk anak-anaknya.
Pemerintah harus menjadi fasilitator yang sigap dalam mencermati fenomena kekinian yang terjadi di tengah masyarakat, dan menjadikannya sebagai modal “software” pembangunan bangsa, karena modal “hardware” kita jelas kalah jauh dibanding negara-negara lain. Jika semua kekayaan alam telah habis dikuras bangsa lain, maka modal sumber daya manusia-lah yang harus digenjot.
Lihatlah bagaimana Finlandia, negeri kecil yang membeku oleh dinginnya Kutub Utara, mampu memproduksi perangkat industri informasi yang mendunia, ponsel NOKIA.
Lihat pulalah bagaimana Malaysia, negeri tetangga yang dulu pernah “minta diajari” oleh kita (dengan program “guru bantu” Indonesia di sana), sekarang justru jauh melebihi bahkan berani berkali-kali melecehkan tenaga kerja kita di sana.
Coba simak bagaimana langkah Singapura yang tidak memiliki wilayah udara yang cukup untuk menerbangkan pesawat tempurnya, kini telah memperluas daratannya, hingga pesawat-pesawat tempurnya yang jauh lebih canggih dari armada udara Indonesia siap untuk menjalankan fungsinya kapan pun mereka mau. Ironisnya, pasir yang dipakai untuk mereklamasi pantai Singapura berasal dari Indonesia yang dijual secara bodoh oleh pengusaha-pengusaha yang amat mengerdilkan makna kebersamaan sebagai bangsa.
Simak pula apa (siapa) yang dieman-eman oleh Kaisar Jepang Hirohito sejenak begitu pengaruh bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima-Nagasaki reda: guru!
Semua ilustrasi di atas menggambarkan betapa dahsyatnya investasi dunia pendidikan dan pengaruhnya bagi masa depan sebuah bangsa, akibat dari mengabaikannya, dan akibat dari mengindahkannya.
UU Guru dan Dosen agaknya menyuratkan kepedulian pemerintah akan dunia pendidikan saat ini sudah “membaik”. Aspirasi guru saat ini bukan hanya ditampung, namun banyak juga yang telah disalurkan.
Namun sayang, program sertifikasi guru sebagai keniscayaan undang-undang di atas ternyata kembali mendapat kendala dengan sinyalemen banyaknya sertifikat yang “aspal”. Entah itu memalsukan ijazah, serifikat maupun data-data yang lain. Rupanya virus telah mencapai ubun-ubun …, hanya dapat diobati dengan membakar habis sumber-sumber penyakit, dan menciptakan figur-figur baru yang betul-betul segar (atau, sebaiknya kita berpikir begitu saja!).
Jika kekurangan tenaga guru adalah problema kita, sertifikasi (atau tidak) bukanlah jawaban. Sertifikasi guru-guru yang bermental seperti ini hanya akan memperpanjang mata rantai feodalisme yang memang menjadi musuh latent bangsa Indonesia. Tampaknya sebagai “penghormatan” kepada generasi pendahulu, namun justru membunuh generasi penerus.
Yang perlu dilakukan adalah membuka pintu seluas-luasnya kepada para mahasiswa (keguruan maupun non keguruan) untuk menjadi guru, selain kuliah. Jika jenjang pendidikan menengah dan atas membutuhkan kualifikasi guru yang profesional, maka program mahasiswa menjadi guru ini dapat dicobaterapkan pada jenjang pendidikan dasar. Pada figur mahasiswa biasanya masih terdapat inovasi, kecerdasan, kelincahan memahami karakteristik anak didik, dan hal-hal lain yang dibutuhkan anak-anak usia pendidikan dasar.
Asumsi dasarnya adalah orang tua maupun muda, sama-sama manusia, yang dapat saja berbuat kesalahan. Namun jika kesalahan itu dilakukan oleh orangtua, sangat disayangkan jika negeri ini ikut “membiayai” kekeliruan tersebut. Adapun jika yang bersalah itu orang yang masih muda, maka di negeri yang sedang membangun seperti Indonesia hal ini harus dianggap sebagai riak-riak kecil dalam revolusi (meminjam istilah Bung Karno).
Seharusnya bangsa ini mematok target : orang tua harus berhasil, orang muda (boleh) gagal. Jika orang tua gagal, kapan lagi waktunya memperbaiki kegagalan itu ? Bangsa yang sudah berutang ribuan trilyun ini tak boleh membiayai orang tua yang baru taraf belajar. Jika kesalahan dibuat orang muda, mereka masih punya waktu untuk memperbaikinya.
Sudah seharusnyalah pemerintah dan masyarakat memberi kesempatan kepada orang-orang muda, bukan hanya dalam dunia penddikan saja, namun juga dalam bidang-bidang lain, misalnya bidang politik. Kita harus mendidik orang-orang muda (mungkin berusia antara 30 – 45 tahun) untuk menjadi (calon) pemimpin bangsa.
Jika mereka benar-benar terpilih (sebagai pemimpin bangsa) dan kemudian gagal, maka ini adalah investasi yang sangat berharga untuk kaderisasi kepemimpinan nasional. Namun jika, misalnya, Megawati terpilih kembali sebagai presiden, dan berhasil mengentaskan permasalahan bangsa, itu bukanlah prestasi bangsa yang membanggakan. Sebaliknya, jika gagal, maka bangsa ini harus menyusun mekanisme (reward and) punishment untuk orang-orang tua yang masih suka bertualang politik dan menganggap rakyat sebagai alat mengenang romantisme kejayaan masa lalunya, bapaknya, atau nenek moyangnya.
Kita harus memandang bahwa orang muda adalah amunisi yang sangat penting untuk memperlancar roda pembangunan nasional, dan sebaliknya, generasi pendahulu adalah kalangan yang sudah cukup pengalamannya dan harus memberi jalan kepada orang muda untuk mencapai pengalaman itu.
Lantas, bagaimana dengan kalangan guru yang telah puluhan tahun mengabdi? “Maqam” mereka jelas sudah berbeda. Kalangan old crack ini tidak lagi hanya sekedar dikuliahkan saja sampai jenjang Strata 1, namun lebih dari itu, juga harus ditingkatkan karirnya, diperluas wawasannya, yang pada gilirannya dengan kewaskitaan yang telah mereka peroleh, akan berguna untuk memperkaya khasanah kependidikan kita juga.
Jadi, untuk menjawab masalah kekurangan guru, pemerintah sebaiknya merekrut tenaga-tenaga muda yang masih inovatif, dan untuk kalangan terdahulu, programnya adalah peningkatan kualitas.
Jika hal ini telah dapat diterima luas, maka semoga tidak akan ada lagi berita kekurangan guru (pendidikan dasar) di tengah bangsa yang banyak penganggur ini.