Dalam hal
penghargaan terhadap para pendahulu pun, pemerintah selama ini hanya menelorkan
kebijakan-kebijakan yang hanya menyentuh permukaan saja dari masing-masing
bidang kehidupan, tidak merambah ranah sosial yang lebih hakiki. Untuk
mengenang jasa RA. Kartini misalnya, orang lebih memilih mengadakan event-event
lucu-lucuan, sekadar untuk memancing tawa, contohnya seperti yang telah disebut
di muka, kontes banci berkebaya terluwes, lomba baca puisi Kartini, dll. Tidak
sebanding dengan cetusan brilian RA. Kartini pada waktu itu soal persamaan hak
maupun perlakuan yang tidak diperoleh perempuan karena sistem patrimonial yang
diberlakukan di masyarakat, tidak tercium aroma keisengan maupun ‘coba-coba’.
Dunia
pendidikan pun tak lepas dari kekonyolan macam ini, bahkan dapat disebut
sebagai pelopornya. Ya, kontes-kontesan itu berasal dari lingkungan sekolah
yang mengajarkan ketidakpedulian, pemasabodohan terhadap nasib sesama. Betapa mungkin dunia pendidikan yang anggarannya mencapai 20% dari APBN tak
mampu melahirkan insan-insan pendidikan berkualifikasi bagus yang
pemikirannya cerdas, jauh melampaui jamannya ?
Semuanya menjadi serba instan. Para pelajar pun
dicetak menjadi figur instan. Ketika musim pesta siaga, mereka berlomba-lomba
berperforma sempurna selayaknya pramuka mandiri, kreatif, bersahaja dsb. Pagi
pramuka, siang – sore berlatih, malam menjelang tidur pun mengingat
materi-materi pesta siaga. Sekian banyak waktu dihabiskan hanya untuk performa
yang hanya 5 – 10 menit di depan juri. Seusai pesta siaga ? Biasanya tak
berbekas sama sekali. Mereka tetap/kembali menjadi anak manja, yang bahkan tak
mampu memakai bajunya sendiri.
Peringatan hari lahir Kartini pun, semuanya sibuk.
Orangtua sibuk mencari salon terbaik, guru sibuk mematut-matut diri di depan
cermin, para pelajar itu pun, rajin mengkonsumsi lisptik, atau selop yang cocok
untuk kakinya. Sepekan sebelum hari-H peringatan Kartinian, para pelajar
berlatih tampil luwes/cantik/ganteng di depan cermin. Usai itu, mereka kembali
ke ‘selera asal’, yang abai pada prinsip ‘kehormatan diri berawal dari
penampilan’.
Rupanya ini pun berimbas kepada penyikapan mereka
terhadap dunia keilmuan pada umumnya. Menjelang ujian nasional ini, berbagai
upaya dilakukan untuk menyambutnya. Mulai dari yang standar hingga yang
ekstrem. Belajar di meja tulis dianggap bukan lagi standar yang cukup supaya
bisa menyerap materi pelajaran di sekolah.
Tujuannya adalah ‘lulus’, entah apa pun caranya. Mulai
dari mengikuti mengikuti les privat, bimbingan belajar, membuat contekan di
anggota badan, membeli bocoran jawaban, doa bersama, mandi kembang, bahkan
kabar terbaru, pensil-pensil yang dipakai untuk mengerjakan ujian pun, diberi
jampi-jampi (http://news.detik.com/surabaya/read/2013/04/13/121032/2219358/475/jelang-un-pensil-siswa-siswi-ma-al-ihsan-dijampi-jampi).Esensi dari belajar,
menuntut ilmu, pun terabaikan. Usai ujian pun, mereka segera lupa pada
materi-materi yang diujikan. Sebagai guru, saya gelisah mengamati fenomena yang
sudah ‘jamak’ seperti ini. Semuanya dianggap biasa-biasa saja. Bahkan fenomena
semacam itu diawali dari lingkungan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan.
Betapa performa fisik lebih diutamakan ketimbang kualitas/jiwa/semangat
pencarian ilmu. Penampilan 5 – 10 menit lebih dipentingkan daripada proses
belajar yang menahun. Kalau sudah begini, masih layakkah bidang pendidikan
mendapat anggaran pembelanjaan nasional yang begitu besar ?