TELOR PALSU, IJAZAH PALSU, SURAT NIKAH PALSU, OBAT
PALSU, JAMU PALSU, AIR MINERAL PALSU, MINUMAN
KEMASAN PALSU, SIM PALSU, STNK PALSU, KTP PALSU,
POLISI GADUNGAN, TENTARA GADUNGAN, DOKTER
GADUNGAN, MOTOR BODONG, MOBIL BODONG ...
TELOR PALSU, IJAZAH PALSU, SURAT NIKAH PALSU, OBAT
PALSU, JAMU PALSU, AIR MINERAL PALSU, MINUMAN
KEMASAN PALSU, SIM PALSU, STNK PALSU, KTP PALSU,
POLISI GADUNGAN, TENTARA GADUNGAN, DOKTER
GADUNGAN, MOTOR BODONG, MOBIL BODONG ...
Golongan manusia yang bagaimana yang jumlahnya lebih banyak ? Penghuni surga dengan penghuni neraka lebih banyak manakah ? Orang beriman dengan orang kafir, siapakah yang lebih sedikit ? Manusia yang tersesat dengan yang mendapat petunjuk, golongan manakah yang lebih banyak ? Pernahkah pertanyaan-pertanyaan ini Anda ungkapkan dalam hidup kita yang singkat dan hanya satu kali ini ?
Pertimbangkan kenyataan-kenyataan berikut ini :
amal perbuatan yang menyebabkan seseorang masuk neraka lebih mudah dilakukan daripada amal perbuatan yang menyebabkan masuk surga. Amalan calon penghuni neraka dilingkupi berbagai hiasan, sedang amalan calon penghuni surga berliku-liku, terjal, dipenuhi onak dan duri
firman Allah ta’ala :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) {QS. Al An’aam : 116}
.. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (oang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan … {QS. Al An’aam : 119}
… dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at) {QS. Al A’raaf : 17}
… benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya {QS. Al A’raaf : 18}
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, … {QS. Al A’raaf : 178}
Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik {QS. Al Hadiid : 16}
… maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun … {QS. At Taubah : 25}
… sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui(nya) {QS. Yunus : 55}
(Iblis) berkata : Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil {QS. Al Israa’ : 62}
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya … {QS. Yusuf : 103}
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah {QS. Yusuf : 106}
…, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia … {QS. Ibrahim : 36}
Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan memandang baik di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba Engkau yang mukhlis di atara mereka {QS. Al Hijr : 39-40}
Mereka mengetahui nikmat Allah,kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir {QS. An Nahl : 83}
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur’an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkarinya {QS Al Israa’ : 88}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia baik bagimu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar {QS. An Nuur : 11}
… maka kebanyakan manusia itu tidak kecuali mengingkari (ni’mat) {QS. Al Furqaan : 50}
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman {QS. Asy Syu’araa : 190} **ayat-ayat dengan lafaz yang sama telah diulang-ulang pada surat-surat sebelumnya**
Nah, masih bangga dengan jumlah anggota kelompokmu yang besar ?
Jangan mengatakan “Israel biadab …”, atau yang semacamnya (dengan menyebut kata Israel), karena dalam bahasa mereka, isra berarti hamba, sedangkan il bermakna Alloh swt. Kata Israel bermakna hamba Allah.
Al Imam Asy Syaukani mengatakan : “Para ahli tafsir sepakat bahwa Israil adalah (nabi) Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Sehingga frasa Bani Israil bermakna keturunan Nabi Ya’kub.
Bila kita mencaci-maki Israel, berarti ( tanpa disadari) kita mencela seorang nabi. Ini adalah suatu kekafiran.
Sehingga kalau mau mengungkapkan kekesalan atas kedzaliman mereka, langsung saja kita sebut, misalnya, Yahudi laknatullah … Ini akan lebih menyelamatkan kita, insya Allah.
Dikutip dari Majalah Asy Syariah No. 42/IV/1429H/2008
NEW YORK, KAMIS — Anda memiliki ide yang mampu mengubah dunia atau setidaknya membantu kemaslahatan umat? Segera kirim ide Anda ke www.project10tothe100.com. Dapatkan hadiah 10 juta dollar AS (sekitar Rp 93 miliar).
Ya, perusahaan raksasa internet Google Inc mengadakan sayembara adu brilian ide untuk merayakan HUT ke-10 dengan hadiah total 10 juta dollar AS. Syaratnya, ide itu harus benar-benar baru dan diyakini menguntungkan bagi kehidupan manusia.
Program itu dinamai Project 10^100 (dibaca 10 untuk ke-100) dan diumumkan melalui CNN, Kamis (25/9). Tim juri akan memilih lima pemenang dan akan diumumkan Februari 2009. Panitia menerima ide dalam 25 bahasa hingga 20 Oktober 2008.
"Ide ini bisa besar atau kecil, berteknologi atau sederhana tapi brilian. Tetapi, semuanya harus memiliki dampak. Kami sadar ada banyak ide brilian yang memerlukan dana dan dukungan untuk menjadi kenyataan," bunyi rilis Google.
Ide bermanfaat yang dimaksud Google adalah seperti penemuan alat Hippo Water Roller. Dikembangkan di Afrika, alat ini bisa mengangkut 24 galon air dan dapat digeser dengan mudah. Alat ini mempermudah warga setempat mengangkut air bersih ke rumahnya.
Di kalangan masyarakat yang berpenyakit, maka orang sehat akan disebut aneh. Di antara orang-orang gila, yang waras akan dituding gila, dan sebaliknya kegilaan akan dibilang ‘normal’.
Sungguh, dalam keadaan seperti ini, kita membutuhkan pedoman hidup yang benar-benar benar, asli, tak pernah diubah oleh tangan-tangan kotor manusia, dan dapat dipercaya. Sebagai seorang muslim, aku harus menyatakan bahwa hanya Al Qur’an dan Sunnah (yang sahih), itulah pedoman yang kubutuhkan.
Maka, mengenai anarkisme, apapun alasannya, tidak boleh dibenarkan. Bila kita mengkritisi anarkisme dalam bentuk kekerasan yang sering terjadi akhir-akhir ini dengan membawa-bawa nama agama, maka supaya adil kita juga harus mencermati anarki yang mengendap-endap, mengintip dan perlahan-lahan menciptakan anarki baru.
Kalau “itu” tidak boleh, mengapa “ini” boleh, bahkan disebut-sebut sebagai ibadah, atau “metode dakwah” yang inklusif (karena menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat) dan toleran ?
Anarki Bulan Ramadhan
Semua “keramaian” itu akan berlipatganda intensitasnya saat bulan puasa tiba. Dari pagi, siang, sore, malam, dini hari, sampai pagi tiba kembali. Suara apa pun ada : mercon, thong-thong prek, penggunaan pengeras suara untuk membangunkan sahur, tadarusan sampai larut malam, pengajian subuh, dhuha, asar, kultum tarawih, hingga takbir keliling malam lebaran.
Semua orang, apa pun keyakinannya, harus “ikut mendengarkan” semua suara itu, entah setuju atau tidak dengan suara-suara itu. Sesama umat yang tidak setuju juga (pasti) ada, apalagi umat agama lain yang jelas-jelas berbeda kepentingannya ? Bagaimana pertanggungjawaban mereka yang memerintahkan, melakukan, dan membiarkan terjadinya hal-hal seperti ini ?
Bulan Ramadhan yang (seharusnya) suci justru menjadi bulan penuh banyolan, dagelan, ngabuburit, tabuh bedug …,
Bulan puasa menjelma bulan penuh anarki yang akan melahirkan anarki-anarki lain pada bulan-bulan berikutnya.
Akibatnya, semua termasuk perilaku maaf memaafkan hanya tradisi rutin yang tak berpengaruh apa-apa bagi kemaslahatan umat.
Pada gilirannya, sepanjang tahun kita hanya sibuk dari satu acara ke acara berikutnya. Setiap hari sepanjang tahun manusia negeri ini cukup sekadar bergelut dengan symbol-simbol, penanda, ikon-ikon, ritual, seremoni. Kita cukup bangga hanya menjadi pengikut, anak buah orang-orang besar, kyai, keturunan orang-orang hebat (bahkan menjadikannya sebagai bahan kampanye).
Nyawa manusia menjadi murah karena memang hampir tak pernah ada manusia hidup di sini. Anarki menghancurkan segalanya … amat pelan … setahap demi setahap …
MOUSTAFA KEMAL PASHA CAN NOT SECULARIZING OTTOMAN TURKEY DINASTY BY HIMSELF ALONE, BUT SUPPORTED FROM (HIDDEN) CONSPIRACY, AS CONTINUOUSLY INTRIGUES FOR CHANGING THE HUMAN “SENSE” CALLED FITRAH.
THAT CONSPIRACY (WILL) GIVE THE WORLD A NEWLY WORLD VIEW. NEW PERSPECTIVE ABOUT HUMAN KIND AT ALL. IT (THE CONSPIRACY) WAS STRUCTURED BY DISLIKENESS TO ISLAMIC RULES (READ: SYARI’AH). IT VIEWED AS A BIG ENEMY FOR A MODERN WORLD.
THE TRUTH IS, ISLAM JUST ALLOW MODERNIZATION FOR THE WORLD (AD-DUNYA) BUSINESS, NOT THE RULES, SYARI’AH. ISLAMIC PEOPLE PERMITTED TO PRAY THEIR GOD, ALLOH, WHILE MAKING SOMETHING MODERN WAY TO LIVING THEIR LIFE.
ULAMA, ISLAMIC LEADERS, CAN DO THEIR DUTY TO INVITE PEOPLE TO ISLAM WITH COMPUTERS, AS AN EXAMPLE.
THIS BLOG, ALSO, IS DEDICATED TO EXPLAIN THE WORLD ABOUT THE TRUTH OF ISLAM, NOT AS USUALLY THE WORLD KNOW FROM MEDIAS. IF YOU HEAR SOMETHING BAD, YOU MUST MAKE SURE THAT IT COMES FROM RELIABLE SOURCE, NOT A DISTORTED ONE.
IT IS HARMFUL FOR THE WORLD IF SOMETHING BIG (IN THE WORLD) VIEWED AS A BAD THING. ALLOH NEVER MAKE SOMETHING NOT GOOD FOR THEMSELVES, EXCEPT, HE/SHE PUT A HIGHER STANDARD FOR THEMSELVES.
IT WILL BECOME A BEAUTIFUL LIFE WHEN WE ACCEPT IT WITH ALL ITS CONSEQUENCES BY WHOLE MEAN HEART, AND IT WAS REVEALED BY ALLOH FROM LONG TIME AGO.
WALLAHU A’LAM.
Kapitalisme di satu pihak, dan kebodohan di pihak lain. Bila dua hal ini berkumpul dalam waktu yang bersamaan di suatu tempat, akan melahirkan pangeran-pangeran dan putri-putri impian kesiangan. Juga selebriti-selebriti, tokoh-tokoh masyarakat yang sekadar bermodal wajah indo, tubuh molek, atau kroni orang-orang berpunya.
Di lain pihak juga akan menghasilkan pemuda-pemuda berotak udang, berpikiran kosong, panjang angan-angan. Dari sini pula,muncullah orang-orang tua yang fedal, kata-katanya seolah ayat suci yang tak boleh dibantah, sedangkan ayat-ayat suci yang jelas-jelas diturunkan Sang Maha Suci, justru tak peduli diterjangnya pula, demi memuaskan hasrat romantisme, feodalismenya semata.
Maka, bila memberantas kebodohan (akibat kemiskinan) merupakan pekerjaan yang paling sulit dilakukan (hingga akhir zaman sekalipun), paling tidak, benahilah perilaku kalangan the have.
Bila mereka merasa keberatan untuk mengeluarkan donasi bagi orang miskin, setidaknya harus mau mengendalikan gaya hidupnya, agar tidak mencolok mata mereka yang tak dapat menikmati seperti kalangan the have itu.
Kalau tak mau menghadiahkan sepeda untuk orang yang tak memiliki sepeda, jangan membeli Jaguar model terbaru, dengan variasi-modifikasi mobil macam-macam pula.
Bukankah itu uang kita ? Hak kita ? Benar. Iya. Tapi Anda menjadi kaya dan hidup mewah, sedangkan orang-orang itu hidup sengsara,melalui proses yang tak wajar, serba tertutup, dalam masa yang penuh gejolak.
Kekayaan Anda merupakan kekayaan dalam tanda petik, yang harus dipertanyakan proses perolehannya. Kemiskinan mereka adalah kemiskinan yang harus dirunut asal-usulnya, jangan-jangan gaya hidup Anda ikut menyebabkan kondisi hidup yang tak seorang pun mau melakoninya.
KEMISKINAN TAK MUNGKIN DAPAT DIBERANTAS, APALAGI VIRUS KAPITALISME TELAH MERUSAK DUNIA SAMPAI TINGKAT YANG PALING TAK DAPAT DIBAYANGKAN ; BAHKAN ANTAR KELUARGA SENDIRI DAPAT SALING MEMBUNUH DEMI UANG (KAPITAL).
YANG PERLU DILAKUKAN ADALAH MEMBERANTAS PEMISKINAN, YAITU MENGURANGI TARAF HIDUP MEWAH KALANGAN ORANG-ORANG BERPUNYA. JIKA MEREKA BIASANYA MAKAN PAKET BUFFET SEHARGA Rp. 200.000,00 (DUA RATUS RIBU RUPIAH) DI HOTEL BERBINTANG LIMA, MAKA HARUS DIMULAI MAKAN PONGGOL DI WARTEG, MISALNYA.
ATAU JIKA BIASANYA BEROBAT DI SINGAPURA, MAKA SEKALI-KALI HARUS MERASAKAN PENGOBATAN DI PUSKESMAS TERDEKAT.
KALAU SERING BELANJA PAKAIAN PRODUK HAUTE-COUTURE DI PARIS, DATANGLAH KE LOS-LOS PAKAIAN PASAR-PASAR TRADISIONAL DI SEKITAR RUMAH, YANG UNTUK KE SANA PUN TAK MEMERLUKAN BANYAK BIAYA.
KOMPUTER PUN, JELEK-JELEK, DI TANGERANG SUDAH BANYAK YANG MAMPU MEMPRODUKSI / MERAKIT SENDIRI, KOK.
SEBAGAI BANGSA (DALAM DUNIA) YANG SEDANG PRIHATIN, SEHARUSNYA KITA MEMASANG TARGET : BIARPUN JELEK, ASAL MILIK KITA SENDIRI, HASIL KERINGAT KITA SENDIRI, BUKAN NYOLONG APALAGI KORUPSI !
KECUALI BILA MEMANG HIDUP KITA UNTUK GENGSI, GENGSI ITU MAHAL HARGANYA, DAN BANYAK KORBANNYA !
Ini adalah hari pertama Almeyda Ayu Wirawan (DIDA), anakku, menuntut ilmu di sekolah formal, yaitu di Taman Kanak-kanak Pertiwi, Jl. Merak Randugunting Tegal.
Beribu harapan kusematkan di dadanya : agar ia gemar membaca, cerdas mengamati fenomena di sekitarnya, terampil mengatasi tantangan jaman, dsb. Di zamannya kelak, saat mana, mungkin saja, aku tak dapat mendampinginya, dia harus sudah mandiri. Dia harus sudah mampu membiayai sendiri hidupnya, meraih impian-impiannya sendiri maupun impian manusia pada umumnya.
Itulah antara lain alasanku mendirikan DIDA wisatabaca : agar ia menyenangi kegiatan membaca. Aku bermimpi pada saatnya nanti, orang akan dihargai berdasarkan pengetahuannya, bukan dari koneksi, kepemilikan harta, tampilan fisik semata.
Saat ini kita memandang seseorang hanya berdasar penampilan, leluhurnya saja. Sedangkan hati nurani manusia, yang oleh nabi Muhammad saw. Disebut sebagai barometer berdosa atau tidaknya seseo, tak dapat dinilai begitu saja seperti penilaian terhadap fisiknya.
Boleh saja penilaian diberikan, tapi cukup disimpan dalam hati saja, tidak perlu mempengaruhi penyikapan terhadap rang yang kita nilai. Kegiatan menaksir, menilai, adalah aktivitas keseharian kita, yang memerlukan latar belakang pengetahuan yang sahih. Apatah lagi kegiatan mengambil sikap hidup ? Jelas ini membutuhkan kualitas keilmuan yang lebih mumpuni.
Begitu banyak hati yang terluka gara-gara penilaian dan penyikapan yang sembarangan, serba memandang rendah, asal-asalan.
Kesimpulannya, pendidikan adalah harapan untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti dunia saat ini. Betapa banyak kesalahpahaman timbul akibat rendahnya latar belakang pendidikan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Tak terhitung jumlahnya perkara menjadi rumit di tangan mereka yang kurang berpendidikan dan kualitas mentalnya pun rendah : birokrasi yang berbelit-belit, manipulasi, penyelewengan di mana-mana adalah akibat itu semua. Jauhkan dari anakku, ya Alloh ...
Dalam kesehariannya, bangsa Jawa tampil minder, serba tanggung, dan inferior. Anak-anak sekolah di Jawa paling senang mengisi deretan kursi paling belakang, sebagaimana kumpulan orang di rumah-rumah ibadah yang selalu mengisi barisan belakang lebih dulu. Di berbagai fasilitas umum orang cenderung mengambil posisi yang dirasa aman, di pinggir atau belakang , bukan di depan. Di angkutan umum bis, kereta atau pesawat, kita lebih suka mengambil tempat di pinggir jendela, bukan di sisi yang dekat dengan gang dalam bis atau kereta.
Di sekolah, guru-guru kita mengajar (hanya) berdasar teks kurikulum yang telah digariskan, sehingga acapkali hanya memindahkan materi dari buku paket saja. Guru kreatif seperti Ibu Guru Sonya (dalam sinetron “Opera SMU” di sebuah televisi swasta beberapa tahun yang lalu), atau seperti dalam novel “TOTO-CHAN” karya Tetsuro Kuroyanagi, atau seperti Prof. Johannes Surya yang sukses melahirkan juara-juara olimpiade sains tingkat dunia, hanya cerita indah penghias acara-acara talkshow saja. Institusi pendidikan hanya dipandang sebagai salah satu periode dalam hidup, yang akan segera berakhir saat periode berikutnya tiba, yaitu menikah.
Pada fase menikah, pembentukan keluarga atau rumah tangga baru, kita seringkali hanya mengikuti petuah orangtua atau common sense : sudah waktunya, kepengin, atau bahkan ‘kecelakaan’. Ini berarti kaitannya dengan masa lalu, sekadar menjalankan kebiasaan yang sudah berlangsung.
Akibat dari kebiasaan ini adalah anak-anak kita lahir tana rencana, tanpa tujuan. Lembaga perkawinan menjadi semacam industri rumahan yang memproduksi anak-anak yang akan segera menikah dan beranak lagi. ‘Ritual’ jalan hidup kita sudah dapat diperkirakan sejak kita lahir.
Kebiasaan ini mengakibatkan bapak-ibu kita sering mengingatkan anak-anaknya “aja macem-macem, aja polah, aja gawe masalah”, supaya jalan hidup kita tidak melenceng dari perkiraan tadi. Pada gilirannya, kreativitas anak-anak pun layu sebelum berkembang. Kreativitas dalam kadar tertentu sering dicap negatif, orangnya dituding mbalelo.
Di rumah-rumah ibadah, para tokoh agama hanya membaca teks yang sudah disusun sebelumnya. Intonasinya, tanpa daya tarik sama sekali. Ceramah paling memikat sekalipun, cukup menjadi retorika saja. Tidak berpengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat banyak.
Gumam kekecewaan sering terdengar akibat pelayanan yang buruk dari kebanyakan fasilitas sosial dan fasilitas umum, instansi pemerintah dan swasta. Penyelesaian masalah pun menjadi tidak jelas karena pihak yang dirugikan tak dapat membahasakan masalahnya, karena pada fase pendidikan, ketrampilan berbicara telah dilumpuhkan. Sebaliknya pihak instansi yang digugat pun tak dapat menjelaskan persoalan karena pegawai-pegawai terbiasa hanya untuk menuntut, bukan melayani.
Di Tanah Jawa arus komunikasi macet atau satu arah saja, tanpa timbal balik yang signifikan. Tidak ada pengelolaan organisasi yang standar, meliputi segenap komponen dan seluruh kepentingan. Celakanya, pemerintah di tingkat nasional mengadopsi tradisi tokoh-tokoh politik yang sebagian besar memang dari Jawa.
Fungsi supervisi yang seharusnya dilaksanakan pemerintah, tidak berjalan karena orang-orang pemerintahan mayoritas orang-orang Jawa yang di muka disebutkan tidak mempunyai visi dan misi. Kalaupun ada misi, paling-paling dalam rangka memperkaya diri sendiri.
Secara umum kehidupan “berbangsa dan bernegara”, mengecewakan karena rakyat banyak dibiarkan menjalani hidup seadanya. Mencari penghidupan sendiri, mengurusi masalahnya sendiri, dan pada akhirnya, menelan kepahitannya sendiri.
Another gain since capitol of countries to move will be life skill equality. Life skill of people from peripheral areas is the same as it from those core one. It is urgent for people empowerment that will be necessary to the changing world.
We can not provide jobs to whom which have low level life skill, and so many talented people will be wasted as ordinary people, with usual way.
What a pity !
That will cause concentrating life skill to some people and reduce to others.
Trust me to move your capitol, and your people will take control …
Indonesia punya banyak pahlawan. Selain yang berperang melawan penjajah jaman dulu, saat ini banyak pahlawan lingkungan, perekonomian, pendidikan, dll.
H. Chaerudin (Bang Idin), yang memelopori pembenahan Kali Pesanggrahan, Jakarta, adalah nama seorang pahlawan lingkungan yang tak lulus SMP. Kegiatannya menata sungai di kawasan Jakarta Selatan ini bahkan mengilhami banyak gerakan kepedulian lingkungan yang lain.
Kiswanti, hanya lulusan SD, yang mendirikan Warung Baca Lebakwangi (WARABAL) di Desa Magersari, Bogor, meminjamkan buku-bukunya (gratis!) yang bermutu, selain menunggu di rumahnya, juga sering mendatangi para pelanggannya dengan menaiki sepeda tuanya. Bahkan narasi dalam sebuah acara di MetroTV menyebutkan, “Kiswanti lebih mendidik daripada para pendidik yang Cuma bisa menuntut kenaikan gaji, pengangkatan pegawai negeri sipil”.
Banyak lagi pahlawan yang lain, misalnya dalam bidang alternatif energi di desa-desa, dengan bahan-bahan kotoran hewan, kotoran manusia, angin atau bahan-bahan lain yang biasanya kita sepelekan.
Mereka, yang umumnya berpendidikan rendah, adalah sedikit di antara segelintir pahlawan kekinian yang kita miliki
Apakah kita peduli kepada mereka ?
Tidak.
Kita tak peduli, bahkan kiprah mereka hilang ditelan arus neo-kolonialisme berwujud korupsi, manipulasi, … mafia perminyakan .. oleh bangsa kita sendiri !
Segelintir pahlawan di sarang maling .
Bila kita cermati kehidupan orang-orang yang hidup dengan cara menjual tubuhnya, entah lelaki atau perempuan, akan tampak bahwa mereka sebenarnya sama dengan kita, “orang-orang kebanyakan” ini. Mereka butuh makan, bekerja mencari penghasilan dan mengisi hidupnya dengan nilai-nilai. Kita pun demikian, bahkan seringkali kita melebihi mencari apa yang menjadi kebutuhan kita.
Bedanya dengan kita, mereka sangat menginginkan sekadar pengakuan bahwa mereka juga bagian dari masyarakat, yang keberadaannya sangat wajar untuk dipahami. Sekadar pengakuan saja tidak diperolah, apalagi aktualisasi diri ? Itu barang mewah bagi mereka.
Sebaliknya, apa yang kita lakukan kepada mereka ? Kita sering menyebutnya “sampah masyarakat”, “penyakit masyarakat”. Mana yang benar, mereka yang membuat masyarakat berpenyakit, ataukah masyarakat yang penuh penyakitlah yang membuat bagian masyarakat ini ada.
Bila kita cermati, sampah-sampah sebenarnya telah mewarnai segenap lapisan masyarakat. Coba lihat keadaan sekitar, banyak pejabat dituntut mundur dari jabatannya adalah karena ketidakmampuannya menjawab gugatan masyarakat terhadap berbagai praktek kotor dalam instansinya (terakhir yang aktual adalah tuntutan mundur terhadap petinggi kejaksaan agung sehubungan terungkapnya skandal penyuapan jaksa yang menangani kasus BLBI Syamsul Nursalim).
Jaksa macam apa yang mengadakan kesepakatan tertentu dengan oknum yang didakwanya selain jaksa sampah ? Jaksa macam apa yang membuat deal dengan koleganya untuk mengarahkan opini masyarakat selain kondisi obyektif dari terdakwa selain jaksa laknat ?
Itu baru satu institusi penegak keadilan, bagaimana lagi dengan jajaran yang lain, kehakiman, polisi, pengacara ? Pernah melihat hakim yang nakal memutuskan vonis yang ringan dengan ‘harga’ sekian ratus juta, milyar ? Atau polisi yang bersekongkol melindungi pembalak liar yang merugikan negara ratusan trilyun setiap tahunnya ? Bagaimana dengan pengacara yang ikut membela propinsi yang ingin memisahkan diri dari suatu negara dan berhasil dengan dukungan dunia internasional ? Itu semua baru sebagian kecil dari gunung es kebusukan masyarakat yang berpenyakit, kebusukan masyarakat yang sehari-hari mengenakan baju seragam hasil dari belanja gaji pegawai yang dibiayai dari pajak rakyat banyak.
Ya, semua memang berawal dari pimpinannya. Jika pimpinan suatu komunitas mengembangkan perilaku negatif, maka bawahannya akan dibiarkan berperilaku yang (hampir) sama.
Maka terjadilah apa yang telah diawali para pendahulunya. Sering disebut jika dulu orang korupsi “di bawah meja”, sekarang mereka (atau kita semua?) memakai cara terang-terangan, bahkan mejanya pun dikorupsi sekalian. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Begitu parahnya perilaku busuk ini hingga kita masih membanggakan negeri ini sebagai negeri Pancasilais, agamis, sopan santun, kekeluargaan, dsb.
Jujurlah, kita semua sampah. Masyarakat ini adalah masyarakat sampah. Hanya masyarakat sampahlah yang sistemnya sedemikian busuk hingga menghasilkan sampah –sampah yang berkarat. Tak adil jika hanya para pelacur itu yang disebut sebagai sampah masyarakat. Bagaimana dengan mereka yang berbuat seperti dalam paparan di atas ?
Atau bila memang kita sudah tak punya nyali untuk berbuat adil, jangan sebut seorang pun sebagai sampah masyarakat, dan mari kita terus menghibur diri dengan kebanggaan-kebanggaan semu tadi …
(postingan ini hasil review tulisan saya dengan judul sama yang pernah dimuat majalah Kampus FISIP Universitas Diponegoro, OPINI, pada tahun 1998)
NEGERI BAKSO TIKUS, NEGERI BAKSO BORAKS, NEGERI DAGING GLONGGONGAN, NEGERI DAGING SUNTIKAN, NEGERI PASTA GIGI PALSU, NEGERI SHAMPOO PALSU, NEGERI KOSMETIK PALSU, NEGERI OLI OPLOSAN, NEGERI MINYAK GORENG OPLOSAN, NEGERI GORENGAN PLASTIK, NEGERI PENEBAR PAKU, NEGERI PEMBIUS PENUMPANG, NEGERI PENIMBUN MINYAK, NEGERI PECURANG GAS, NEGERI PUPUK PALSU, NEGERI TELUR ASIN PALSU, NEGERI BEDAK BAYI PALSU, NEGERI BAHAN PENGAWET, NEGERI BAHAN PEWARNA, NEGERI PENGEMIS PENIPU, NEGERI APARAT BACKING PENCOPET, NEGERI PENJARA PENUH NARKOBA, NEGERI ABORSI, NEGERI KANIBAL ONDERDIL, NEGERI PESAWAT TELEVISI PALSU, NEGERI VCD PLAYER PALSU ...
negeri ini dipenuhi orang kreatif atau jahat ?
The next gain from moving capitols (separated development) is decreasing crime at that recent capitols. This good news will cause turning situation down, more condusive life, and so on. Peoples at the recent capitols feel decreasing stress and anxiety from other (strange) people.
Nowadays we must look at other people as a leader for him (her) self, but not a part of a community / group / team anymore. Then, they have to be given same chance to build their own life. If not, and the bad recent situation continuously happened, we are all in the same situation : minoritiness.
All of violence, rebellion against government, intermass conflict, caused by minoritiness feeling.
This feeling, comes from centralizing developed areas, different access to mass media, etc. We all know, news from some people are welcomed news, “good” news, but “bad” news from some other people who disagree with the first one.
If we talk about religion freedom, we must access qualified information about religion, not a junk one, not a distorted one.
If we want to build national character, we must make sure that there are no domination from one to another people, from an area to another one.
So, back to previous words above, we must look at people as a domain of him (her) self.
It will be an unrighteousness when some people viewed as a "special one", "wali", "saint", that his talkative become "law", so that ordinary people cry become piece of cake matter.
For example (it is my class teaching experience), since a teacher pay attention, listen, to each part of class suggest, thus the class will be an interactive class, controllable class. The class will accept you as a friend, not a superior people. Further, if I ask them to do something, it would be done easier usually.
So..., why don't you realize ?
Or..., you do use this bad situation ?
IT is TIME for THOSE CAPITOLS of ALL COUNTRIES in THE WORLD to MOVED. The main benefit of this idea is more fairly separation of developing country areas.
For example, a research mentioned that money circulation in Jakarta, the capitol of Indonesia, is about 70 %, and the other 30 % is separated out of Jakarta. Meanwhile the area of Jakarta is less than 10 %, but the others are more than 90 % of whole Indonesian areas.
Imagine this … 10 % area enjoy 70 % money (its acceptance is not fair, too), but more 90 % area must fight to get those (only) 30 % money.
It isn’t fair, isn’t it ?
In Rio de Janeiro, Brazil, we can find that crime index is about 202,7 / day ! It is a very dangerous condition ! That is one of some bad impact when development are centered at one area, or city, or country.
OK Mr. Bush, Mr. Ban Ki Moon, Mr. SBY, and all leaders in the whole world, you must heal the world (lend me your words, Jacko!) by giving chances to peripheral areas to develop. And it will happen if you empowering peoples to move the capitol of your country.
It won’t happen when you just urge political earnings for yourself.
Well, which one is the most important for you ?
Sebuah koran lokal di Tegal Rabu 9 April 2008 menyebutkan, dari 2.399 siswa SMA negeri dan swasta (di Tegal), hanya 615 siswa saja yang (pantas) lulus berdasarkan kriteria yang ditentukan. Agaknya memang, di samping semangat belajar anak-anak didik kita yang sudah rendah, didukung oleh metode pengajaran, mutu guru yang juga asal-asalan, dan juga oleh korupnya regulator (pemerintah).
Seiring dengan makin meningkatnya jumlah lulusan sekolah, pemerintah mungkin mengkhawatirkan dampaknya terhadap penyediaan kesempatan kerja untuk mereka. Ini tentu saja tidak sejalan dengan (sebagian) sekolah yang menginginkan 100% siswa level terakhirnya lulus, juga tidak sejalan dengan kebijakan (sebagian) birokrat yang wanti-wanti kepada para kepala sekolah untuk, misalnya, agar siswa yang tidak naik kelas tak lebih dari 5%.
Lho?! Apa-apaan kyeh?
Kalau dipikir bodhon (gampangan) saja, anak yang dapat memahami suatu materi pelajaran tertentu saja, paling hanya satu sampai (katakanlah) tujuh orang. Ini baru satu materi pelajaran, lha kepriben angger seluruh materi semua pelajaran? Pasti hanya sedikit saja yang dapat menyerapnya, dan kemudian naik kelas.
Jadi, mana relevansinya antara kebijakan birokrat yang membatasi angka ketidaknaikan kelas dengan kondisi nyata dunia pendidikan kita? Jelas ini kontraproduktif! Jelas ini menghambat mainstream semangat pembangunan yang mengharuskan kualitas sumber daya manusia yang kompetitif, bukan sumber daya yang manipulatif!
Asbabun Nuzul Surah ‘Abasa
Pernah dengar cerita orang buta yang ditolak oleh Muhammad saw, yang beliau justru berpaling kepada para pembesar yang diperkirakan bila berdakwah kepada mereka akan membawa pengikut yang banyak? Bagaimana kemudian kejadiannya? Allah swt. menegur kanjeng nabi kita, sehingga kemudian setiap kali nabi bertemu dengannya, Abdullah bin Umi Maktum, nabi memanggilnya dengan sebutan “Hai orang yang aku ditegur Allah karenamu!”
Allah menegurnya karena Abdullah bin Umi Maktum ini bersungguh-sungguh mengharapkan bimbingan ilmu agama, bukan asal, bukan sekedar ikut-ikutan. Ikut-ikutan temannya kek, orangtuanya kek, saudaranya kek, atau tetangganya. Orang buta ini benar-benar mengharapkan bimbingan nabi agung junjungan kita.
Sedang para pembesar itu tidak begitu membutuhkannya. Mereka sekadar mengikuti tren yang berkembang saat itu, yang seakan-akan semua sudah menerima islam, setelah banyak yang menjadi pengikut risalah yang lurus ini.
Begitulah sebagian besar anak didik di Indonesia, disuruh belajar mereka tak mau, begitu mau ujian kedhandhapan berdoa, puasa senen-kemis, baca pancasila sampai sepuluh ribu kali, al Fatihah 70.000 kali tanpa bernapas he .. he .. he.. Mungkin bisa lulus, tapi bisa bersaing apa tidak? Atau hanya akan menjadi beban masyarakat saja?
Nah, jadi …, jumlah yang banyak memang penting, tapi … tentu harus dengan kualitas yang cukup (tak usah mentargetkan bagus atau tinggi), bukan sekadar “cuci gudang” saja !