ANAK KANGURU NAIK KE KANTUNG INDUKNYA UNTUK ISTIRAHAT DAN MAKAN ("AKU TAHU!" : Asal Tahu Saja, Suranto Adi Wirawan, 2010)

Kamis, 30 Desember 2010

Revitalisasi Madrasah

Barangkali benar, sistem pendidikan nasional dewasa ini sekadar meneruskan sistem yang sama diterapkan pada masa kolonial dahulu.

Saat itu, penjajah lebih mementingkan sekolah-sekolah bentukannya sendiri, yang kemudian hari disebut sebagai sekolah negeri. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan rintisan masyarakat disebut dengan wilde scholen, ‘sekolah liar’, yang kemudian disebut sekolah swasta (“Sejarah Pendidikan Indonesia”, S. Nasution, PT. Bumi Aksara, 2008).

Apa yang terjadi semenjak pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolahnya pada pertengahan tahun 1700-an ? Justru penjajahan semakin langgeng, karena sekolah-sekolah negeri bentukan Belanda hanya menjadi perlambang status sebagai bagian masyarakat yang terhormat. Anak-anak sekolah bentukan Belanda acapkali kemudian menjadi pegawai pemerintah penjajah yang sering mengkhianati bangsanya sendiri dan, sebaliknya, menjilat muka penjajah.

Bagaimana pula yang terjadi ketika masyarakat mulai berinisiatif mendirikan sekolah-sekolah, yaitu Taman Siswa yang berorientasi nasionalisme dan Muhammadiyah yang bersifat keislaman, pada awal tahun 1900-an ? Sejak saat itu lahirlah generasi terdidik yang kemudian mendirikan organisasi-organisasi pergerakan bangsa yang lebih modern dan terorganisir, dan pada saatnya memproklamirkan kemerdekaan bangsa.

Perjuangan rakyat yang sekian ratus tahun menemui jalan buntu, pada waktu itu mendapati momentumnya justru ketika masyarakat berinisiatif mendidik dirinya sendiri dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang oleh pemerintah kolonial pada saat itu disebut dengan ‘sekolah liar’.

Inilah cikal bakal madrasah, yang berawal dari sekolah-sekolah swasta bentukan masyarakat sendiri sebagai wujud kegeraman atas sekolah-sekolah bentukan penjajah.

Dalam perkembangannya, sekolah umum lebih diminati kalangan orangtua murid ketimbang madrasah. Ini merupakan ironi, sebab, selain porsi pendidikan agama di sekolah umum yang sedikit, pula karena praktek pengajaran ala penjajah masih kerap ditemui pada sekolah umum. Misalnya, pencekokan materi pelajaran yang sejatinya pengkerdilan daya nalar peserta didik, pendapat guru selalu benar - tak boleh dibantah, dll.

Dengan landasan semangat kembali pada perjuangan bangsa, maka Kementerian Agama agaknya tengah berupaya maksimal menguri-uri eksistensi madrasah. Dalam kondisi moral bangsa yang disipongangi berbagai bencana fisik maupun akhlak, revitalisasi madrasah menemukan alasannya. Program kementerian ini antara lain menelurkan program MEDP (Madrasah Education Development Project) yang saat ini masih dalam tahap pertama, mendirikan berbagai madrasah berstandar internasional di beberapa wilayah, mengiklankan madrasah di stasiun-stasiun televisi (beserta film “Simba dan Sahabat”, yang berkisah mengenai haru-biru murid madrasah).

Upaya pemerintah ini patut disambut hangat karena, di luar berbagai cap jelek yang ditabalkan pada Kementerian Agama, disemangati oleh romantisme kembali pada eksistensi awal sebagai bangsa pejuang yang ‘berdikari’ (berdiri di atas kaki sendiri, meminjam istilah Bung Karno), bukan bangsa pegawai, yang sekadar mewarisi sistem peninggalan bangsa penjajah.

Penulis, mengajar di MI Sutapranan,

Kec. Dukuhturi, Kab. Tegal

lintasberita

Minggu, 30 Mei 2010

YA, AKU SEORANG MORALIS !

Gelisah sekali saat sore ini penonton sepakbola meneriakkan "JUPE! JUPE!", karena yang memasukkan bola ke gawang lawan adalah pasangan zina artis terkenal ini. Gelisah karena aku cemburu, khawatir akan nasib anakku, anak-anak bangsa, apa yang akan mereka alami nanti jika saat ini para pezina dibebaskan mengekspresikan diri di media-media umum seperti stasiun televisi, tampil sebagai entertainer atau olahragawan, bahkan diajukan sebagai calon pejabat oleh partai bodoh dalam sistem perpolitikan yang laknat ...
Orang lain mungkin akan berkata, "Bukan sok moralis, tapi ..."
Kalau aku, jelas-jelas aku menyatakan diriku sebagai seorang moralis, puritan, konservatif.
Dan aku BANGGA dengan hal itu.
lintasberita

Sabtu, 29 Mei 2010

BETAPA KERINDUANKU ...

MASYA ALLOH ... BETAPA SULITNYA BERENANG DI ANTARA LAUTAN MINYAK ... lintasberita

Kamis, 14 Januari 2010

Saatnya Bagi Dunia Pendidikan

Kebodohan-lah, yang lebih menjadi persoalan di negeri ini, daripada kemiskinan. Jika sebagian kalangan aktivis berpendapat bahwa kemiskinan adalah persoalan mendasar bangsa kita (hingga seminar tentang kemiskinan dan seribu satu macam cara untuk menghindarinya lebih marak), maka sebenarnya kebodohan-lah, sumber masalah bangsa.

Orang kaya yang bodoh, akan mudah tertipu, hartanya terbuang untuk investasi yang percuma. Sebaliknya, si miskin yang berilmu, akan menemui pandangan hidup yang berkarakter dan menjadikan hidupnya bermanfaat bagi orang lain.

Masalah akan terlihat kian jelas saat kemiskinan berselingkuh dengan kebodohan. Rombongan massa yang mengantri zakat sembako tiap menjelang lebaran biasanya miskin, juga bodoh. Kebodohan membuatnya tak malu untuk menengadahkan tangan tanpa karya. Hanya status miskin dan kesediaan mengantri-lah yang menyebabkannya memperoleh sekadar sebungkus beras dan uang penyambung hidup.

Bagaimana dengan orang berilmu ? Ilmu mereka akan bersinergi dengan otaknya, kemudian menggerakkan tangan dan seluruh anggota badannya, bisa jadi, untuk memanggul kayu bakar, menjual jasa pijat, menarik becak, atau menyewakan payung sebagai peneduh dari panas maupun hujan, yang dengannya didapatlah uang sekadar pengganjal perut.

Bukankah semua pekerjaan memerlukan ilmu ? Betapakah si miskin mendapatkannya ? Para motivator berpendapat, bila seluruh kekuatan kita kerahkan, maka lautan pun dapat diseberangi, gunung bisa dipindahkan, bintang gemintang diduduki.

Ilmu bukan hanya dapat diperoleh di sekolah-sekolah formal, namun begitu banyak ilmu (hikmah) yang berserakan. Hanya karena kebodohan kita pulalah, maka emas tampak sebagai batu biasa, sedang kerikil-kerikil terlihat seperti untaian zamrud penghias dunia.

Pendidikan dapat dilaksanakan di tempat-tempat terhormat bertabur pualam, maupun di daerah-daerah kumuh beratap langit dan berpijakkan bumi telanjang. Pengajaran bisa diberikan oleh semua orang yang berilmu lebih tinggi, tanpa harus dengan latar belakang pendidikan tertentu, dan boleh dinikmati siapapun yang ingin, tanpa batasan umur. Masalahnya adalah, kita terlanjur memandang segalanya dengan sudut pandang formal. Dan kebodohan kita membuat formalisasi itu merajalela. Tak aneh jika di surat kabar marak iklan mendapatkan ijazah dengan jalan mudah dan waktu singkat.

Inilah saatnya bagi dunia pendidikan menampilkan wajah santunnya, menawarkan alternatif bagi bangsa yang penat dari kebodohan yang kian menegas ini.

lintasberita