ANAK KANGURU NAIK KE KANTUNG INDUKNYA UNTUK ISTIRAHAT DAN MAKAN ("AKU TAHU!" : Asal Tahu Saja, Suranto Adi Wirawan, 2010)

Senin, 31 Maret 2014

REVITALISASI MADRASAH (1)

Barangkali benar, sistem pendidikan nasional dewasa ini sekadar meneruskan sistem yang sama diterapkan pada masa kolonial dahulu.
Saat itu, penjajah lebih mementingkan sekolah-sekolah bentukannya sendiri, yang kemudian hari disebut sebagai sekolah negeri. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan rintisan masyarakat disebut dengan wilde scholen, ‘sekolah liar’, yang kemudian disebut sekolah swasta (“Sejarah Pendidikan Indonesia”, S. Nasution, PT. Bumi Aksara, 2008).
Apa yang terjadi semenjak pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolahnya pada pertengahan tahun 1700-an ? Justru penjajahan semakin langgeng, karena sekolah-sekolah negeri bentukan Belanda hanya menjadi perlambang status sebagai bagian masyarakat yang terhormat. Anak-anak sekolah bentukan Belanda acapkali kemudian menjadi pegawai pemerintah penjajah yang sering mengkhianati bangsanya sendiri dan, sebaliknya, menjilat muka penjajah.
Bagaimana pula yang terjadi ketika masyarakat mulai berinisiatif mendirikan sekolah-sekolah, yaitu Taman Siswa yang berorientasi nasionalisme dan Muhammadiyah yang bersifat keislaman, pada awal tahun 1900-an ? Sejak saat itu lahirlah generasi terdidik yang kemudian mendirikan organisasi-organisasi pergerakan bangsa yang lebih modern dan terorganisir, dan pada saatnya memproklamirkan kemerdekaan bangsa.
Perjuangan rakyat yang sekian ratus tahun menemui jalan buntu, pada waktu itu mendapati momentumnya justru ketika masyarakat berinisiatif mendidik dirinya sendiri dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang oleh pemerintah kolonial pada saat itu disebut dengan ‘sekolah liar’.
lintasberita

Minggu, 30 Maret 2014

MENANTI GURU SUPER (2)

Suatu kali pernah terdetik gagasan, untuk mengajar dengan kostum superhero, misalnya, daripada memakai baju safari atau uniform yang digariskan pemerintah. Ini karena superhero adalah tokoh yang diidolakan anak-anak, ‘fatwa-fatwa’nya didengar, bahkan baju yang pernah dipakainya pun dijual mahal. Pernah juga terbayang untuk mengajar murid-murid di pasar, stasiun, rumah sakit atau tempat-tempat umum yang lain, sebagai upaya mendekatkan mereka dengan realita keseharian yang diajarkan. Ini karena, realita keseharian, permasalahan, akan lebih dikenali dari dekat ketimbang (menjejalkan) teori-teori yang paling-paling akan dianggap kosong belaka.
Celakanya, ini hanyalah angan mewah di negeri yang kian disipongangi oleh kabar tawuran antar kelompok warga, pernikahan besar-besaran selebriti dengan foto prewedding yang ‘wah’, pesiar anggota dewan ke luar negeri, juga merebaknya video porno pelajar. Kapal retak ini kian membusuk, dikelindani oleh kesulitan ekonomi berkepanjangan, dan akan segera menjadikannya barang rongsok yang diobral pun tak laku.
Pesimiskah ? Justru ini harus dijadikan tantangan, cakra manggilingan, yang akan membawa kapal pendidikan ke lautan damai. Superhero tak lahir dari rahim subur tanpa kendala, melainkan dari mereka yang mampu mengenali masalah dan menemukan formula solusi yang tepat untuknya. Guru super tak mungkin berasal dari sistem pendidikan yang telah dipenuhi fasilitas, melainkan dari situasi krisis yang bahkan tak memungkinkannya untuk mengajar.
lintasberita

Sabtu, 29 Maret 2014

MENANTI GURU SUPER (1)

Sungguh, beban yang disandang guru, apalagi yang mengajar pada jenjang pendidikan dasar, amat berat. Guru SD/MI merupakan peletak dasar worldview tentang kependidikan pada anak-anak bangsa. Jika dasarnya baik, maka (diharapkan) anak-anak bangsa akan merespon positif terhadap pendidikan yang mereka alami berikutnya. Sebaliknya, jika buruk, (dikhawatirkan) dapat menjadi stigma betapa rendahnya kualitas pendidikan maupun sekolah pada khususnya.
Para peserta didik akan trauma dengan pendidikan dan menganggap sekolah sebagai penjara bagi kebebasannya berkreasi. Timbullah gagasan deschooling society, home schooling, serta maraknya lembaga-lembaga bimbingan belajar, sebagai dampak carut-marutnya sistem pendidikan nasional, yang menjadikan guru tidak maksimal mengajar di sekolah.
Itu masih sekelumit kondisi internal dalam dunia pendidikan, sedangkan, tantangan dari luar dunia ini masih amat banyak. Kompetitor yang dianggap paling besar dan kerap dikeluhkan para pengajar adalah glamor dunia selebriti, stasiun-stasiun televisi, yang dituding banyak menampilkan tontonan-tontonan tak layak konsumsi.
Peserta didik lebih mengidolakan pesohor yang tak pernah mereka temui daripada guru yang sehari-hari mendampingi. Para petenar yang baru kemarin sore dibesarkan media lebih diamini ketimbang guru-guru yang dengan setia memberikan bimbingan dari nol.
lintasberita

Jumat, 28 Maret 2014

GURU PRAKTISI (3)

Hiruk-pikuk konstelasi politik di tanah air membuktikan betapa bangsa ini masih (lebih) menggandrungi dunia politik, dan menjadikannya sebagai panglima. Orang lebih memandang politik sebagai penentu masa depan bangsa ketimbang bidang lain. Ini berarti secara langsung politik dihadapkan dengan bidang pendidikan, apalagi mengingat apa yang diajarkan kedua bidang kehidupan ini berhadapan secara diametral.
Sebagai contoh, jika dunia pendidikan berpendapat bahwa 1 + 1 = 2, maka dalam dunia politik hasilnya bisa 2, 5, 1 milyar, amat multitafsir. Bila dunia pendidikan mengajarkan ibukota negara adalah DKI Jakarta, maka realitas politik menciptakan raja-raja kecil yang membentuk ‘pemerintahan sendiri’ dengan ibukota yang ditentukan masing-masing, bisa Cikeas, bisa markas besar tentara, bisa markas produksi narkoba, dll.
Dalam dunia pendidikan, rakyat merupakan pemilik sah kedaulatan bangsa, namun dalam realitas politik, empunya kedaulatan bisa penguasa, pengusaha bermodal besar, aparat keamanan, dll. Tergantung konteks dan interesnya. Dunia pendidikan menawarkan idealita yang mendekati utopis, sedang percaturan politik menyuguhkan realita pragmatis.
Tinggallah guru, di tengah-tengahnya, menjadi pelanduk pelengkap penderita yang menelan kepahitannya sendiri. 
lintasberita

Rabu, 26 Maret 2014

GURU PRAKTISI (2)

Dalam hal ini berarti institusi pendidikan khusus untuk calon guru tidak diperlukan lagi. Lapangan kehidupan yang amat luas ini biarlah menjadi laboratorium abadi untuk para guru. Jika di masa lalu kerap terdengar keluhan output pendidikan tidak siap kerja (ini juga karena para guru bukan pelaku usaha riil di tengah masyarakat), maka dengan skema baru di atas ini diharapkan output pendidikan akan lebih diperlukan di dunia kerja (karena memang yang mendidik mereka adalah orang-orang yang benar-benar memahami kebutuhan dunia kerja).
Adapun mengenai manajemen pendidikan, tetap diperlukan, terutama bagi jabatan-jabatan struktural, semacam kepala sekolah, kepala dinas, maupun jabatan lain di area medioker. Untuk tingkat atas dan bawah, yaitu menteri dan para guru yang mengajar di lapangan, seyogyanya dipercayakan kepada para praktisi profesional.
Masalahnya adalah, ini memerlukan political will dari segenap bangsa, agar pendidikan menjadi domain khusus yang independen, bukan menjadi sub-ordinasi bidang lain, apalagi, sudah menjadi rahasia umum, isu seputar dunia pendidikan kerap dijadikan komoditi politik.
lintasberita

Senin, 24 Maret 2014

GURU PRAKTISI (1)


Menimbang tujuan perubahan kurikulum terbaru, 2013, yaitu agar siswa tidak terbebani banyaknya mata pelajaran yang mereka serap, maka dari segi kalangan guru juga harusnya diadakan reformasi besar-besaran.
Reformasi yang dimaksud ialah agar para guru yang mendidik anak-anak kita berasal dari kalangan praktisi/professional. Misalnya saja : untuk mata pelajaran ekonomi/berhitung, kita memerlukan para pelaku usaha untuk mengajari perihal  hitung-menghitung; untuk pelajaran berbahasa (baca / tulis) kita memerlukan para seniman/budayawan; sedang untuk olah tubuh, kita membutuhkan jasa para instruktur senam/aerobik.
Pemikiran ini berawal dari keprihatinan akan masih stagnannya kualitas pada khususnya dan kualitas pendidikan nasional pada umumnya. Acap kita dengar, guru visioner/berkarakter, biasanya mengajar dengan hati, mencintai dan dicintai murid-muridnya. Biasanya guru seperti ini dikenal sebagai guru inti, namun presentasenya masih amat rendah di negeri kita. Sebagian besar guru kita adalah guru yang mengajar seadanya, sekadar untuk mengejar target kurikulum.
Mungkin inilah sebabnya, nasehat guru tidak dipatuhi, yang pada gilirannya mengakibatkan tawuran pelajar. Guru mereka bukanlah orang berpengalaman dalam bidang yang diajarkannya. Guru selama ini hanyalah tenaga bayaran yang dididik untuk mengajarkan materi berhitung, berbahasa dll.
lintasberita