Pemimpin
yang pasif apatis hanya akan membuat rakyatnya yang telah disipongangi berbagai
centang perenang lingkungannya menjadi beringas. Apalagi penampilan selebriti
berbakat di panggung terhormat, konvoi kelulusan sekolah pun menjadi tontonan,
pawai arak-arakan sekadar pamer jumlah murid, prestasi sekolah pun dilihat.
Orang kita haus tontonan/hiburan, karena para pemimpin serba mendekam dalam
zona amannya masing-masing. Padahal banyak kasus hukum yang membutuhkan
intervensi seorang presiden, misalnya, namun cukup direspon dengan pernyataan
bahwa itu bukan wewenangnya. Rakyat tidak membutuhkan orang yang serba cuci
tangan seperti ini.
Sebaliknya,
dunia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang ‘atraktif’ karismatik, sebagaimana
kita merindukan kemanusiaan kita yang hilang ditelan arus
globalisasi/industrialisasi. Kita merindukan pemimpin manusia yang memanusiakan
rakyatnya. Seorang figur yang tidak memandang orang banyak cuma sebagai
komoditas politik, ‘pemilik hak suara’, melainkan sebagai stake holder,
‘pemegang saham’, yang tanpa mereka, negeri/dunia ini tak berarti sama sekali.
Ini berarti, kita tak membutuhkan pemimpin yang duduk
manis di menara gading, dipusingi silang sengkarut partainya sendiri,
menjadikannya sebagai tawanan politik yang berlindung pada gelontoran uang yang
sebenarnya memang milik rakyat. Pemimpin seperti ini sepenuhnya bergantung pada
pencitraan, pemanfaatan momentum, blow-up media, kampanye politik, dll.
Yang berarti, bukan pemimpin sejati yang lahir untuk rakyat, namun hanya
sebagai bagian dari industrialisasi leadership, yang akan segera
dilupakan.