Kenyataan di Lapangan
Akibat kebijakan pemerintah yang masih belum
terarah membentuk suatu sistem pendidikan nasional jangka panjang, maka
timbullah perilaku lembaga penyelenggara pendidikan yang selama ini dikeluhkan
masyarakat. Dari proses pembelajaran di kelas-kelas yang monoton, guru yang
mangkir dari tugas mengajarnya, hingga mengakibatkan peserta didik pun
terlantar, atau bahkan tawuran, karena tidak adanya program pengajaran yang
konsisten.
Kegiatan try
out menjelang ujian nasional pun ternyata diagendakan bukan hanya satu
kali, namun paling tidak 4 (empat) kali, yaitu tingkat daerah binaan,
kecamatan, kota/kabupaten, dll. Seorang siswa sekolah dasar bahkan menyatakan
bahwa dirinya telah mengikuti sembilan kali try
out UN tahun ini. Opo tumon ?
Jangankan sembilan kali, try out satu
kali saja menyiratkan ketidaksiapan institusi pendidikan untuk mengikuti ujian
nasional.
Sungguh menyedihkan, Hari Pendidikan Nasional setiap
tanggal 2 Mei dirayakan, berbagai seminar pendidikan digelar, pelatihan guru
dipusatkan di kantong-kantong pendidikan, inovasi pembelajaran diekspresikan,
kurikulum pun berganti-ganti secara periodik, namun dunia pendidikan kita masih
berorientasi pragmatis pada nilai-nilai akademik yang kosong.
Sistem Pendidikan Terbaik
Bagaimana dengan yang terjadi di belahan dunia
lain ? Sedikit cuplikan mungkin dapat disebutkan di sini bahwa, di negeri yang
berdasarkan survei menerapkan sistem pendidikan terbaik di dunia, ‘kunci kesuksesan Finlandia dalam memperbaiki
sistem pendidikannya adalah mereka tidak mengejar keunggulan akademis
(excellence), tapi kesetaraan (equity).
Setiap
anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, tanpa melihat latar
belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan individu
yang cerdas, tetapi sebagai alat
untuk meratakan kesenjangan sosial. Keunggulan akademis bukanlah prioritas
khusus bagi Finlandia, tetapi Finlandia berhasil menciptakan keunggulan
akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan.’ (http://www.sekolahdasar.net/2013/03/karakteristik-sistem-pendidikan-terbaik.html#ixzz2NLiCpgP7,
diakses Senin 4 Mei 2015).
Demikianlah, barangkali kita memiliki banyak
anak cerdas, namun belum tentu mereka cakap dalam life skill. Setiap tahun kita menciptakan juara-juara jambore
pramuka baru, namun ketahanan hidup mereka di alam liar perlu diuji. Sistem
pendidikan yang baik tidak merancang program pengajaran mercusuar, melainkan
membuat sistem kaki-kaki penyangga pembangunan yang walau kecil atau remeh
temeh, namun karena terprogram dengan baik, penyangga-penyangga kecil itu pun
menjadi gemuk dan kuat tak mudah goyah.
Sistem pendidikan yang baik terdiri dari
sinergi mur dan baut pendidikan yang
kokoh, tidak memimpikan bangunan menara yang menjulang tinggi. Sinergi yang
terpadu ini menghasilkan unit blok mesin pendidikan yang subur, dan dari
blok-blok mesin pendidikan yang subur ini barulah muncul tunas-tunas peserta
didik yang bernas, sehat dan menyehatkan.
Jika dianalogikan ke dalam sistem pendidikan
kita, seharusnya sistem pendidikan tidaklah berupaya menciptakan lampu yang
terang benderang, namun meratakan nyala lilin di setiap titik jejaring
pendidikan, agar jika satu nyala mati, masih ada ribuan lilin lain yang masih
bertahan meneruskan estafeta pembangunan. Adapun yang terjadi dewasa ini
adalah, kita berharu-biru menyalakan lampu mercusuar, setelah itu kita padamkan
sendiri, mengumpulkan daya upaya untuk penyalaan lampu waktu berikutnya.
Orangtua dan murid berupaya maksimal agar si anak bisa lulus UN, namun etos
pendidikan setelah itu tidak dipertahankan (antara lain tampak dari pesta
konvoi pelajar dan corat-coret baju seragam sekolah tiap usai UN). Suatu ritus
besar, yang hasilnya tidak sepadan.
Penulis, mengajar di MI Al—Islamiyah
Yayasan Syi’arul Islam, Panggung, Tegal