Ketika seorang
remaja rela menjual motornya demi bertemu pujaan hatinya, Ariel Peterpan, serta
600 penggemar lainnya bersiap menyambut kebebasannya dari penjara, saya
tercenung. Ada apa denganmu, wahai remaja ?
Saat seorang
ustadz yang telah bercerai masih berhubungan kelamin dengan mantan istrinya
(dan hal ini pun telah diakui ustadz tersebut), kemudian penggemarnya masih
menyambutnya sebagai ‘ustadz gaul’ yang ‘bersih’, bahkan ustadz ini tiap hari
selama bulan puasa mengisi acara keagamaan di sebuah televisi swasta, saya
terhenyak. Ini gejala apa ?
Sebelumnya,
sewaktu ustadz yang lain memutuskan untuk berpoligami, ternyata justru
ditinggalkan oleh penggemarnya, saya menangis. Inikah kiamat itu ? Ketika
nilai/norma dijungkirbalikkan, saat kitab-kitab suci dibiarkan hanya menjadi
lembaran-lembaran usang di sudut rumah.
Masa Lalu
Pada masa Adolf
Hitler berkuasa di Jerman, pasukan bersenjatanya menjadi pasukan bersenjata
yang amat ditakuti di seluruh dunia. Nilai-nilai yang dianutnya begitu dipegang
teguh oleh rakyatnya. Begitu ‘atraktif’-nya Hitler sehingga rakyatnya, pada
masanya, tidak membutuhkan atraksi yang lain.
Loyalitas
pun penuh dipersembahkan bagi pemimpinnya. Hingga kini, kebanggaan sebagai
bangsa Arya yang unggul dari bangsa-bangsa lain (dikenal dengan slogan ‘Deutsch
über alles’) masih menggejala sebagai fenomena terselubung yang perlu
diwaspadai (disebut sebagai aliran NeoNAZI).
Semasa
Napoleon Bonaparte memerintah Prancis, hampir duapertiga wilayah Benua Eropa
tunduk di bawah kekuasaannya. Para jenderalnya amat setia dan patuh padanya.
Hanya kesalahan perhitungan sepele yang membuatnya kalah di Rusia, ini pun
bukan oleh pasukan Rusia, melainkan oleh cuaca amat dingin yang melanda Rusia
saat itu, sedangkan jenderal-jenderal yang tersisa pada waktu itu tinggal
mereka yang telah berusia tua dan tak memiliki pasukan.
Di
tanah air, pada waktu Soekarno memimpin, orang amat menantikan orasi-orasinya.
‘Atraksi’ yang paling dikenang darinya adalah kemahiran berorasi hingga
digambarkan, jika ia mulai naik podium, maka audiens serentak terdiam,
memperhatikan ‘fatwa-fatwa’-nya. Ideologinya pun, Soekarnoisme/marhaenisme,
banyak dikagumi oleh bahkan generasi muda yang tak mengalami masa hidup
Soekarno.
Tidak terdengar
cerita mengenai histeria massa yang lain selain antusiasme melihat pemimpin-pemimpin
atraktif karismatik ini. ‘Fatwa-fatwa’ mereka menjadi rujukan, kebijakannya
menuai pujian. Orang masih terngiang-ngiang ketika, misalnya, Soekarno
menyatakan ‘go to hell with your aids’ atau ‘jasmerah’ (jangan
sekali-kali melupakan sejarah), pun ketika ia memutuskan untuk berkonfrontasi
dengan Malaysia, menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, dll.
Gaya
penghormatan Hitler, dengan meneriakkan ‘Heil Hitler!’ sambil mengangkat
tangan dan badan yang menjadi ciri khasnya, bentuk kumisnya, kini banyak
diikuti para pengagumnya, sebagaimana Napoleon, yang kutipan-kutipannya
mengenai kepemimpinan, banyak dicomot oleh para motivator masa kini dalam pekerjaannya.
Pada jamannya
masing-masing, orang tidak merasa membutuhkan idola/figur lain. Jadilah mereka
legenda yang tak tergantikan. Suasana pun guyub rukun, tak ada wabah konflik
sosial, tawuran antar kelompok warga, pelajar, suporter sepakbola atau penonton
konser musik. Orang-orang tua yang masih hidup di masa kini mengenang masa-masa
itu sebagai kenangan, romansa, yang tak terlupakan. Masa-masa romantis, hangat,
ketika pemimpin amat dekat dan dicintai rakyatnya. Orang enggan mengambil tokoh
masyarakat lain, selebriti, menjadi idola. Kita merasa cukup dengan ‘atraksi’,
kebijakan maupun fatwa pemimpin yang kita cintai.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment here ..