ANAK KANGURU NAIK KE KANTUNG INDUKNYA UNTUK ISTIRAHAT DAN MAKAN ("AKU TAHU!" : Asal Tahu Saja, Suranto Adi Wirawan, 2010)

Rabu, 25 Juni 2008

Sampah Masyarakat, atau, Masyarakat Sampah ?

Bila kita cermati kehidupan orang-orang yang hidup dengan cara menjual tubuhnya, entah lelaki atau perempuan, akan tampak bahwa mereka sebenarnya sama dengan kita, “orang-orang kebanyakan” ini. Mereka butuh makan, bekerja mencari penghasilan dan mengisi hidupnya dengan nilai-nilai. Kita pun demikian, bahkan seringkali kita melebihi mencari apa yang menjadi kebutuhan kita.

Bedanya dengan kita, mereka sangat menginginkan sekadar pengakuan bahwa mereka juga bagian dari masyarakat, yang keberadaannya sangat wajar untuk dipahami. Sekadar pengakuan saja tidak diperolah, apalagi aktualisasi diri ? Itu barang mewah bagi mereka.

Sebaliknya, apa yang kita lakukan kepada mereka ? Kita sering menyebutnya “sampah masyarakat”, “penyakit masyarakat”. Mana yang benar, mereka yang membuat masyarakat berpenyakit, ataukah masyarakat yang penuh penyakitlah yang membuat bagian masyarakat ini ada.

Bila kita cermati, sampah-sampah sebenarnya telah mewarnai segenap lapisan masyarakat. Coba lihat keadaan sekitar, banyak pejabat dituntut mundur dari jabatannya adalah karena ketidakmampuannya menjawab gugatan masyarakat terhadap berbagai praktek kotor dalam instansinya (terakhir yang aktual adalah tuntutan mundur terhadap petinggi kejaksaan agung sehubungan terungkapnya skandal penyuapan jaksa yang menangani kasus BLBI Syamsul Nursalim).

Jaksa macam apa yang mengadakan kesepakatan tertentu dengan oknum yang didakwanya selain jaksa sampah ? Jaksa macam apa yang membuat deal dengan koleganya untuk mengarahkan opini masyarakat selain kondisi obyektif dari terdakwa selain jaksa laknat ?

Itu baru satu institusi penegak keadilan, bagaimana lagi dengan jajaran yang lain, kehakiman, polisi, pengacara ? Pernah melihat hakim yang nakal memutuskan vonis yang ringan dengan ‘harga’ sekian ratus juta, milyar ? Atau polisi yang bersekongkol melindungi pembalak liar yang merugikan negara ratusan trilyun setiap tahunnya ? Bagaimana dengan pengacara yang ikut membela propinsi yang ingin memisahkan diri dari suatu negara dan berhasil dengan dukungan dunia internasional ? Itu semua baru sebagian kecil dari gunung es kebusukan masyarakat yang berpenyakit, kebusukan masyarakat yang sehari-hari mengenakan baju seragam hasil dari belanja gaji pegawai yang dibiayai dari pajak rakyat banyak.

Ya, semua memang berawal dari pimpinannya. Jika pimpinan suatu komunitas mengembangkan perilaku negatif, maka bawahannya akan dibiarkan berperilaku yang (hampir) sama.

Maka terjadilah apa yang telah diawali para pendahulunya. Sering disebut jika dulu orang korupsi “di bawah meja”, sekarang mereka (atau kita semua?) memakai cara terang-terangan, bahkan mejanya pun dikorupsi sekalian. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Begitu parahnya perilaku busuk ini hingga kita masih membanggakan negeri ini sebagai negeri Pancasilais, agamis, sopan santun, kekeluargaan, dsb.

Jujurlah, kita semua sampah. Masyarakat ini adalah masyarakat sampah. Hanya masyarakat sampahlah yang sistemnya sedemikian busuk hingga menghasilkan sampah –sampah yang berkarat. Tak adil jika hanya para pelacur itu yang disebut sebagai sampah masyarakat. Bagaimana dengan mereka yang berbuat seperti dalam paparan di atas ?

Atau bila memang kita sudah tak punya nyali untuk berbuat adil, jangan sebut seorang pun sebagai sampah masyarakat, dan mari kita terus menghibur diri dengan kebanggaan-kebanggaan semu tadi …

(postingan ini hasil review tulisan saya dengan judul sama yang pernah dimuat majalah Kampus FISIP Universitas Diponegoro, OPINI, pada tahun 1998)

lintasberita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment here ..