Sudah menjadi
tradisi tiap tanggal 21 April para pelajar diminta (diwajibkan ?) pihak sekolah
untuk berdandan ganteng dan cantik (terutama memang bagi murid perempuan)
kemudian mengenakan pakaian adat daerah . Solusi paling mudah tentu saja
meriaskan mereka di salon-salon kecantikan termasuk pakaian adatnya, pun telah
disediakan.
Pesan
pendidikan apa yang tersampaikan dari kegiatan tersebut ? Mencintai budaya
sendiri ? Emansipasi wanita ? Jauh panggang dari api. Para pelajar tak mengerti
apa itu emansipasi wanita dan para orangtua pun tak memahami, bahkan upaya melestarikan budaya
bangsa. Mereka hanya berlomba-lomba menampilkan sosok “Kartini” yang tercantik,
glamor, salonnya pun haruslah yang mahal, agar nanti mendapat komentar “bagus,
serasi dengan postur badan pemakainya, bla bla bla”, persis seperti
kontes-kontesan atau ratu-ratuan di televisi yang dikomentari “penampilan kamu
hari ini sudah sangat sempurna, baju atasan berwarna cerah yang dipadu-padankan
dengan rok bawahan berenda yang terlihat serasi dengan warna atasannya”, atau
“kayaknya lipstik warna merah muda itu tidak cocok karena warna bibirmu sudah
pucat, nanti tampak seperti mayat …”.
Tampaknya tidak ada
perubahan signifikan yang terjadi semenjak rejim Orde Baru berganti dengan
rejim penguasa penerusnya. Barangkali
yang berubah hanya level korupsi kini semakin menginjak stadium akut : jika
dulu korupsi dilakukan di bawah meja, sekarang korupsi dilaksanakan tanpa meja,
sebab mejanya pun dimakan. Adapun kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
beranjak dari artifisial, kamuflase.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment here ..