ANAK KANGURU NAIK KE KANTUNG INDUKNYA UNTUK ISTIRAHAT DAN MAKAN ("AKU TAHU!" : Asal Tahu Saja, Suranto Adi Wirawan, 2010)

Rabu, 23 April 2014

HARI BERSOLEK (2)

Dalam hal penghargaan terhadap para pendahulu pun, pemerintah selama ini hanya menelorkan kebijakan-kebijakan yang hanya menyentuh permukaan saja dari masing-masing bidang kehidupan, tidak merambah ranah sosial yang lebih hakiki. Untuk mengenang jasa RA. Kartini misalnya, orang lebih memilih mengadakan event-event lucu-lucuan, sekadar untuk memancing tawa, contohnya seperti yang telah disebut di muka, kontes banci berkebaya terluwes, lomba baca puisi Kartini, dll. Tidak sebanding dengan cetusan brilian RA. Kartini pada waktu itu soal persamaan hak maupun perlakuan yang tidak diperoleh perempuan karena sistem patrimonial yang diberlakukan di masyarakat, tidak tercium aroma keisengan maupun ‘coba-coba’.
Dunia pendidikan pun tak lepas dari kekonyolan macam ini, bahkan dapat disebut sebagai pelopornya. Ya, kontes-kontesan itu berasal dari lingkungan sekolah yang mengajarkan ketidakpedulian, pemasabodohan terhadap nasib sesama. Betapa mungkin dunia pendidikan yang anggarannya mencapai 20% dari APBN tak mampu melahirkan insan-insan pendidikan berkualifikasi bagus yang pemikirannya cerdas, jauh melampaui jamannya ?
Semuanya menjadi serba instan. Para pelajar pun dicetak menjadi figur instan. Ketika musim pesta siaga, mereka berlomba-lomba berperforma sempurna selayaknya pramuka mandiri, kreatif, bersahaja dsb. Pagi pramuka, siang – sore berlatih, malam menjelang tidur pun mengingat materi-materi pesta siaga. Sekian banyak waktu dihabiskan hanya untuk performa yang hanya 5 – 10 menit di depan juri. Seusai pesta siaga ? Biasanya tak berbekas sama sekali. Mereka tetap/kembali menjadi anak manja, yang bahkan tak mampu memakai bajunya sendiri.
Peringatan hari lahir Kartini pun, semuanya sibuk. Orangtua sibuk mencari salon terbaik, guru sibuk mematut-matut diri di depan cermin, para pelajar itu pun, rajin mengkonsumsi lisptik, atau selop yang cocok untuk kakinya. Sepekan sebelum hari-H peringatan Kartinian, para pelajar berlatih tampil luwes/cantik/ganteng di depan cermin. Usai itu, mereka kembali ke ‘selera asal’, yang abai pada prinsip ‘kehormatan diri berawal dari penampilan’.
Rupanya ini pun berimbas kepada penyikapan mereka terhadap dunia keilmuan pada umumnya. Menjelang ujian nasional ini, berbagai upaya dilakukan untuk menyambutnya. Mulai dari yang standar hingga yang ekstrem. Belajar di meja tulis dianggap bukan lagi standar yang cukup supaya bisa menyerap materi pelajaran di sekolah.
Tujuannya adalah ‘lulus’, entah apa pun caranya. Mulai dari mengikuti mengikuti les privat, bimbingan belajar, membuat contekan di anggota badan, membeli bocoran jawaban, doa bersama, mandi kembang, bahkan kabar terbaru, pensil-pensil yang dipakai untuk mengerjakan ujian pun, diberi jampi-jampi (http://news.detik.com/surabaya/read/2013/04/13/121032/2219358/475/jelang-un-pensil-siswa-siswi-ma-al-ihsan-dijampi-jampi).Esensi dari belajar, menuntut ilmu, pun terabaikan. Usai ujian pun, mereka segera lupa pada materi-materi yang diujikan. Sebagai guru, saya gelisah mengamati fenomena yang sudah ‘jamak’ seperti ini. Semuanya dianggap biasa-biasa saja. Bahkan fenomena semacam itu diawali dari lingkungan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Betapa performa fisik lebih diutamakan ketimbang kualitas/jiwa/semangat pencarian ilmu. Penampilan 5 – 10 menit lebih dipentingkan daripada proses belajar yang menahun. Kalau sudah begini, masih layakkah bidang pendidikan mendapat anggaran pembelanjaan nasional yang begitu besar ?
lintasberita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment here ..