Dari
segi dialek bahasanya pun, bahasa Tegal dan sekitarnya dikenal sebagai bahasa
kasar, bahasa yang kerap menjadi bahan olok-olokan, candaan. Celakanya, bahasa
daerah yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar hingga menengah atas dalah
bahasa Jawa halus yang cedhak ratu (dekat dengan keraton/raja) dan
merepresentasi kemapanan. Di (calon) propinsi ngapak, bahasa ngapak-ngapak yang
adoh ratu (jauh dari keraton/raja) menjadi bahasa kelas dua, sehingga
penggunaannya pun dianggap tidak menghormati diri sendiri.
Ini
terjadi, karena wilayah barat Propinsi Jawa Tengah ini kalah awu dan
telah teracuni oleh mainstream yang
diberlakukan selama ini.
Padahal
dari banyak segi, wilayah yang adoh ratu ini memiliki karakteristik
kesejarahan tersendiri. Namun mengapa, misalnya, para pelajar di Pemalang lebih
mengenal Perang Diponegoro ketimbang Peristiwa Tiga Daerah, bahkan di
daerah-daerah tempat terjadinya peristiwa heroik ini ? Mengapa pula ada yang
menyebut Kutil sebagai penjahat sedang sebagian yang lain banyak yang memujanya
sebagai pahlawan ? Tentu ini merupakan upaya pembiasan sejarah oleh pusat.
Buku-buku
sejarah lebih bergengsi bila menuliskan polemik yang melibatkan punggawa
keraton daripada perjuangan kawula alit mempertahankan hidupnya. Orang
lebih menyukai bagian kisah Cinderella saat bertemu dengan pangeran ketimbang
saat para kurcaci bahu-membahu membuatkan baju pesta untuknya.
Agaknya
pemerintah daerah perlu meredefinisi makna ‘cinta tanah air’, supaya proses
pembangunan berjalan dengan penuh khidmat, partisipasi aktif dari masyarakat.
Masalahnya, misalnya di kota Tegal, dengan walikota baru yang notabene bukan penduduk
asli (bahkan, hingga tulisan ini diturunkan, masih belum bertempat tinggal di
wilayah kota Tegal, namun menginap di hotel bertarif 1,7 juta / malam),
definisi tanah air/kampung halaman macam yang bisa diharapkan ?
Untuk
persoalan komitmen/kecintaan terhadap daerah saja tidak terbayangkan, bagaimana
pula halnya dengan percepatan pembangunan daerah, apatah lagi soal kemandirian
/ pemekaran daerah menjadi propinsi tersendiri ? Padahal dari daerah ini
sendiri saja, dengan dipimpin orang yang perlu menjawab sekian banyak keraguan
tersebut, daerah ini tak bergejolak, sudah menunjukkan kemandirian sebagai
suatu wilayah, bila cita-cita pemekaran tersebut tak diwujudkan, alangkah
sayangnya ...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment here ..