ANAK KANGURU NAIK KE KANTUNG INDUKNYA UNTUK ISTIRAHAT DAN MAKAN ("AKU TAHU!" : Asal Tahu Saja, Suranto Adi Wirawan, 2010)

Jumat, 04 April 2014

MENIMBANG PROPINSI "NGAPAK" (2)

Dari segi dialek bahasanya pun, bahasa Tegal dan sekitarnya dikenal sebagai bahasa kasar, bahasa yang kerap menjadi bahan olok-olokan, candaan. Celakanya, bahasa daerah yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar hingga menengah atas dalah bahasa Jawa halus yang cedhak ratu (dekat dengan keraton/raja) dan merepresentasi kemapanan. Di (calon) propinsi ngapak, bahasa ngapak-ngapak yang adoh ratu (jauh dari keraton/raja) menjadi bahasa kelas dua, sehingga penggunaannya pun dianggap tidak menghormati diri sendiri.
Ini terjadi, karena wilayah barat Propinsi Jawa Tengah ini kalah awu dan telah teracuni oleh mainstream yang diberlakukan selama ini.
Padahal dari banyak segi, wilayah yang adoh ratu ini memiliki karakteristik kesejarahan tersendiri. Namun mengapa, misalnya, para pelajar di Pemalang lebih mengenal Perang Diponegoro ketimbang Peristiwa Tiga Daerah, bahkan di daerah-daerah tempat terjadinya peristiwa heroik ini ? Mengapa pula ada yang menyebut Kutil sebagai penjahat sedang sebagian yang lain banyak yang memujanya sebagai pahlawan ? Tentu ini merupakan upaya pembiasan sejarah oleh pusat.
Buku-buku sejarah lebih bergengsi bila menuliskan polemik yang melibatkan punggawa keraton daripada perjuangan kawula alit mempertahankan hidupnya. Orang lebih menyukai bagian kisah Cinderella saat bertemu dengan pangeran ketimbang saat para kurcaci bahu-membahu membuatkan baju pesta untuknya.
Agaknya pemerintah daerah perlu meredefinisi makna ‘cinta tanah air’, supaya proses pembangunan berjalan dengan penuh khidmat, partisipasi aktif dari masyarakat. Masalahnya, misalnya di kota Tegal, dengan walikota baru yang notabene bukan penduduk asli (bahkan, hingga tulisan ini diturunkan, masih belum bertempat tinggal di wilayah kota Tegal, namun menginap di hotel bertarif 1,7 juta / malam), definisi tanah air/kampung halaman macam yang bisa diharapkan ?
Untuk persoalan komitmen/kecintaan terhadap daerah saja tidak terbayangkan, bagaimana pula halnya dengan percepatan pembangunan daerah, apatah lagi soal kemandirian / pemekaran daerah menjadi propinsi tersendiri ? Padahal dari daerah ini sendiri saja, dengan dipimpin orang yang perlu menjawab sekian banyak keraguan tersebut, daerah ini tak bergejolak, sudah menunjukkan kemandirian sebagai suatu wilayah, bila cita-cita pemekaran tersebut tak diwujudkan, alangkah sayangnya ...
lintasberita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment here ..