Hiruk-pikuk
konstelasi politik di tanah air membuktikan betapa bangsa ini masih (lebih)
menggandrungi dunia politik, dan menjadikannya sebagai panglima. Orang lebih
memandang politik sebagai penentu masa depan bangsa ketimbang bidang lain. Ini
berarti secara langsung politik dihadapkan dengan bidang pendidikan, apalagi
mengingat apa yang diajarkan kedua bidang kehidupan ini berhadapan secara
diametral.
Sebagai
contoh, jika dunia pendidikan berpendapat bahwa 1 + 1 = 2, maka dalam dunia
politik hasilnya bisa 2, 5, 1 milyar, amat multitafsir. Bila dunia pendidikan
mengajarkan ibukota negara adalah DKI Jakarta, maka realitas politik
menciptakan raja-raja kecil yang membentuk ‘pemerintahan sendiri’ dengan
ibukota yang ditentukan masing-masing, bisa Cikeas, bisa markas besar tentara,
bisa markas produksi narkoba, dll.
Dalam
dunia pendidikan, rakyat merupakan pemilik sah kedaulatan bangsa, namun dalam
realitas politik, empunya kedaulatan bisa penguasa, pengusaha bermodal besar,
aparat keamanan, dll. Tergantung konteks dan interesnya. Dunia pendidikan
menawarkan idealita yang mendekati utopis, sedang percaturan politik
menyuguhkan realita pragmatis.
Tinggallah guru, di tengah-tengahnya, menjadi
pelanduk pelengkap penderita yang menelan kepahitannya sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment here ..