
Dilihat
dari segi karakteristik manusianya, penduduk daerah-daerah berbahasa ngapak
(Tegal, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan sekitarnya) nyata-nyata lebih
egaliter, lugas, dibanding penduduk di bagian timur Propinsi Jawa Tengah yang
saat ini menjadi tempat bernaung.
Di
Tegal, misalnya, orang biasa memanggil teman akrabnya dengan menyebut “asu”
(anjing), “bangset” (bangsat), sekadar untuk menjaga keintiman dengan temannya.
Orang Tegal tak suka dengan segala macam formalitas semu. Terasa berbeda dengan
penduduk daerah lain yang serba penuh kepura-puraan, pasemon,
formalitas, serta eufemisme bahasa. Hal ini sangat terasa ketika berlangsung moment-moment
pertemuan penduduk antar daerah seperti pada lebaran yang lalu.
Sekadar
catatan saja, gejala eufemisme bahasa sempat dituding sebagai penyebab
merebaknya kriminalitas, konflik horisontal, serta ketidakberdayaan hukum.
Penghalusan bahasa membuat orang enggan menyebut yang benar itu benar dan yang
salah itu salah. Pada gilirannya, koruptor pun diberi remisi lebaran (yang
memunculkan polemik pula, karena dirasa mencederai rasa keadilan masyarakat),
bahkan banyak pula yang dibebaskan, atau dijatuhi hukuman minimal, karena
selama ini yang bisa berkorupsi biasanya pejabat dan mantan pejabat yang
dipandang banyak berjasa bagi rakyat banyak. Semuanya dengan dalih kemanusiaan,
kehalusan, anti kekerasan.

orang ngapak lebih simpel
BalasHapus